Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #24

Karma

Dama’ Bulan tidak membiarkan sang permaisuri jatuh sakit terlalu lama. Ia terus memberikan semangat dan memerintahkan para dayang untuk melayaninya dengan baik. Setiap kali Dama’ Bulan berkunjung ke bilik sang permaisuri, ia selalu mengenakan busana kebesaran. Ia mendatangi sang permaisuri sebagai seorang raja dan pemimpin.

Dama’ Bulan sadar bahwa semua ini diakibatkan oleh satu hal yang pasti, bahwa sang permaisuri tak mampu menyesuaikan kehidupan di tengah hutan, di belantara tak dikenal yang jauh dari hiruk pikuk warga kota dan kejayaan kerajaan yang gemilang.

Dama’ Bulan tak menyalahkan sang permaisuri. Sedari awal, kakak iparnya itu adalah seorang perempuan bangsawan dari kerajaan Pagan. Sang Pangeran Sulong meminang sang permaisuri sebagai bagian dari hubungan kerja sama dengan negeri orang-orang Burma tersebut. Sang putri Pagan hidup di kala kerajaannya sedang dilanda malapetaka. Padahal, sebelumnya, kerajaan Pagan memiliki kekuasaan yang sangat besar hingga dapat menyatukan seluruh negeri orang-orang Burma dari tahun seribu limapuluh tujuh sampai seribu seratus enampuluh tujuh Masehi. Dahulu, Kerajaan Pagan bersaing dengan kerajaan Kemaharajaan Khmer di wilayah tersebut.

Namun, Pangeran Sulong seakan mencoba memberikan harapan kepada Kerajaan Pagan yang mulai runtuh karena wilayahnya banyak dikuasai oleh kaum sangha atau kependetaan, serta kegagalan negeri itu melawan serangan pasukan Tartar. Tidak sampai disitu, sanga raja Pagan terakhir, Narathihapate tewas di tangan putranya sendiri. Tak menunggu waktu lama bagi pasukan Tartar atau Mongol merebut hampir seluruh wilayah kekuasaan Kemaharajaan Pagan. Kerajaan itu tidak mampu kembali berjaya ketika Mongol memasang pemimpin boneka di negeri Burma pada tahun seribu dua ratus delapan puluh sembilan Masehi.

Malapetaka di dalam negeri ini lah yang membuat sang putri Pagan menerima pinangan seorang pangeran dari sebuah kerajaan kecil di tanah Melayu. Mungkin dahulu sang permaisuri berharap bahwa hidupnya akan berlangsung dengan baik seperti selayaknya seorang putri dari darah bangsawan. Meski tak berkalung surga setiap saat, awalnya sang permaisuri merasakan hidup layaknya seorang putri kerajaan. Pangeran Sulong adalah pewaris sah kerajaan Songkhra.

Namun, kelahiran Nilam Cahya membuat sang permaisuri merasakan bahwa ada keindahan dan kebahagiaan lain di dunia selain kejayaan dan gemilang ningrat. Nilam Cahya membuat ibunda permaisuri mempertanyakan lagi lajur hidupnya. Ia tidak kecewa ketika mengetahui bahwa sang suami bukanlah satu-satunya pewaris kerajaan Songkhra. Ia bahkan mewajari hal itu.

Kekacauan dan persengketaan di negeri Pagan sudah menjadi cermin yang bening terhadap hal yang ia alami di Songkhra. Keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Bila tidak karena Nilam Cahya, sang permaisuri hanya akan menganggap bahwa hidupnya adalah kesialan belaka.

Lihat selengkapnya