Arus air sungai yang laju di tengah menyadarkan Dama’ Bulan bahwa kehidupannya harus terus berjalan. Arus air akan membawa serta apapun, tak peduli seberapa besar benda itu. Alam akan membantu arus air mendorong gelondongan kayu besar-besar, kapal, bahkan nasib dan takdir bersamanya.
Dama’ Bulan malam itu mengumpulkan semua orang penting di dalam rombongannya ini. Para hulubalang dan pendekar, serta nakhoda dimintanya datang menghadap. Datuk Udak dan Danum duduk bersila berdampingan, paling dekat dengan Dama’ Bulan yang duduk di sebuah singgasana kayu yang sederhana. Di belakang mereka ada manok Sabong dan Singa Pati Bangi. Panglima Singa Guntur Baju Binduh, Panglima Singa Elang, Panglima Singa Layang duduk bersama nakhoda, juru kemudi, dan beberapa orang awak jung yang mengenal baik pelayaran ikut berkumpul.
“Wahai para punggawa, pendekar, panglima perang, nakhoda serta ahli dan pakar pelayaran. Hari ini aku, Dama’ Bulan, sang Pangeran Muda, pemimpin dari kerajaan Melayu Songkhra, membutuhkan bantuan kalian sekali lagi. Setelah pelayaran yang berat, diburu oleh pasukan kakak laki-laki kandungku, Dama’ Bintang, para dewata telah memberikan kita keselamatan bahkan tempat yang terbaik di pulau Hujung Tanah. Ikan-ikan melimpah. Air bersih dari mata air mengalir laju. Tanah di kaki bukit begitu subur sehingga padi-padi kita tak segan untuk tumbuh. Buah-buahan hutan ranum, berbuah seperti tanpa mengenal musim, serta pepohonan dengan kayu-kayu yang kuat dan kokoh digunakan dengan laik bagi pondok-pondok kita. Harusnya kita sudah cukup merasa aman dan tentram. Sudah berapa kali purnama anak-anak kenyang, istri-istri dapat tidur di atas tanah bukannya di atas laut, beratapkan sirap bukannya langit. Namun, sudut jiwaku tetap merasa gelisah, wahai para punggawa, panglima, pendekar, nakhoda dan para ahli pelayaran,” ujar Dama’ Bulan panjang lebar. Salah satu tangannya menopang kepalanya yang seperti menjadi bagian tubuhnya yang paling berat.
“Ampun, baginda Raja. Apakah gerangan yang membuat hati baginda Raja begitu sedih dan durjana? Menurut hemat patik, kekayaan tanah ini sudah lebih dari cukup, seperti yang baginda utarakan sebelumnya. Apakah gerangan yang membuat keadaan ini menjadi kurang sempurna? Ampun bila patik lancang mempertanyakan hal tersebut,” ujar Danum, saudara kembar Datuk Udak. Danum yang telah berbakti lama kepada sang permaisuri sesungguhnya telah begitu lega karena sang putri Pagan serta Nilam Cahya akhirnya mendapatkan tempat untuk berhenti dari kejaran pasukan Dama’ Bulan.
Namun begitu, sebaliknya, Datuk Udak malah merasa bahwa ia paham dengan apa yan dipikirkan dan dirasakan oleh Dama’ Bulan sang raja. Ia mengerti bahwa Danum yang telah lama mengabdi kepada putri Pagan merasakan ketenangan. Ia pun bersyukur dengan keadaan ini. Hanya saja, ketika istrinya membantu para dayang kerajaan untuk mengasuh putri Nilam Cahya, serta merawat putri Pagan yang sudah mulai kerap sakit-sakitan, nampaknya Datuk Udak mengerti arah pikiran sang raja.
“Engkau benar, Danum. Namun, rasa-rasanya kita akan terlena dengan apa yang dewata berikan kepada kita saat ini. Bukankah tujuan kita datang ke Hujung Tanah adalah untuk kembali menegakkan bendera Songkhra dengan bertemu leluhur serta kerabat kita? Bagaimana kita bisa kembali mendapatkan keagungan dan kejayaan negeri bila kita berhenti di tempat ini?” wajah Dama’ Bulan mengeras, menunjukkan ia sedang bersungguh-sungguh.
Kusak-kusuk terdengar di dalam lingkaran kelompok tokoh-tokoh penting dari Songkhra tersebut. Sedikit banyak mereka merasa ucapan kekhawatiran Dama’ Bulan ada benarnya. Sudah banyak purnama mereka berada di tempat ini, mendapatkan segala kenikmatan yang memanjakan sehingga mereka bisa saja lupa dengan tujuan utama.