Dama’ Bulan tersentak. Ia terbangun dari tidurnya dengan peluh yang bercucuran, meloncat keluar dari pori-pori kulitnya. Di dalam pondoknya, cahaya rembulan remang-remang menembus sela-sela dinding kayu, papan, serta atap daun rumbia. Dama’ Bulan sang Pangeran Muda mengerjap-ngerjapkan matanya. Bahkan tanpa diduga, hatinya juga merapal doa kepada para dewa. Ia kembali merasakan ketakutan yang sangat, merayap di sekujur tubuhnya bagai serangga dan binatang melata.
Kini, tidak hanya hatinya yang berbicara, mulutnya pun mulai bergumam, untaian mantra diujar
“Kejang aku kejang rungkup, kejang tunjang tengah laman, kebal aku kebal tutup, terkucap kulit tak berjalan, terkunci terkancing tak mara.”
Dama’ Bulan menggunakan mantra dalam bahasa Melayu ini untuk mengatur tubuhnya, terutama menciptakan semacam kekebalan rohani bagi kulitnya yang meremang menggila sejadi-jadinya.
Sambil terus berceloteh merapal mantra, Dama’ Bulan bangun, duduk di atas dipan kayunya. Ia menyapu keningnya yang basah oleh keringat dengan jari-jarinya yang bergetar.
Apa yang menjadi ketakutan Dama’ Bulan tersibak pula. Di luar balai-balainya itu, melalui pintu kayu ala kadarnya yang tidak tertutup penuh, tepat di bawah rerumbunan pepohonan yang ranting-rantingnya menjuntai ke bawah, ada satu sosok tak dikenal seperti berdiri, tetapi membungkuk, bergoyang-goyang di bawah sinar rembulan dan angin malam.
“Kejang aku kejang rungkup, kejang tunjang tengah laman, kebal aku kebal tutup, terkucap kulit tak berjalan, terkunci terkancing tak mara …. Kejang aku kejang rungkup, kejang tunjang tengah laman, kebal aku kebal tutup, terkucap kulit tak berjalan, terkunci terkancing tak mara …,” Dama’ Bulan terus membaca mantra sembari kedua tangannya menopang tubuhnya, menguatkannya sendiri untuk bangun berdiri.
Susunan papan dipan berderit ketika tubuhnya berhasil bangun dan kedua kakinya berhasil tegak memapah raganya.
Ia berjalan pelan, tetapi pasti. Membuka daun pintu kayu yang juga berderit. Angin malam berembus menggidikkan, membuat pemandangaan gaib yang terpampang di depan Dama’ Bulan menjadi semakin mengerikan.
Dama’ Bulan melihat ke sekeliling. Beberapa prajurit yang bertugas berjaga terduduk di atas tanah, tertidur, mungkin pingsan, ya dewa … semoga bukan mati, pikir Dama’ Bulan. Tidak hanya para prajurit, beberapa laki-laki yang ikut menemani para prajurit, bergadang semalaman mengitari api unggun, juga sudah terbaring dengan keadaan yang tak wajar. Seakan mereka mendadak jatuh tertidur atau tak sadarkan diri.