Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #27

Ramaong

Tidak! Ia tidak akan melakukannya lagi. Ia tidak akan membiarkan masyarakatnya mengalami peperangan dan kesengsaraan lagi. Sudah cukup bagi mereka mendapatkan sisi buruk kehidupan ini. Sang penjaga hutan, ramaong, telah memberikannya gambaran tentang peperangan yang terjadi di Hujung Tanah, bagaimana darah tertumpah di dalam hutan rimba belantara diantara para suku asli yang hidup di atasnya. Peringatan ramaong ini membuatnya sadar untuk tidak membiarkan lagi orang-orang yang ia bawa kembali menjadi korban atas sifat hawa nafsu dan angkara murka manusia.

Dama’ Bulan sudah kembali berdiri. Keringatnya masih mengalir deras. Ia sudah seperti mandi saja.

Sosok gaib ramaong yang tadi dilihatnya melalui alam batin beserta mahluk-mahluk adikodrati semacam anjing raksasa yang dikenal dengan bahutai, kemudian hantu mariaban yang serupa dengan mahluk kera raksasa jadi-jadian, serta mahluk di air yang dikenal dengan tambun, kini menghilang dan hanya menyisakan satu sosok laki-laki tua, berambut putih, berdidi bergoyang-goyang. Tubuhnya sedikit bungkuk dan ia hanya mengenakan selembat cawat berwarna merah. Seluruh kulitnya dipenuhi rajah beragam bentuk dan corak. Pola guratan-guratan berbentuk parang, tombak, serta tameng terlihat jelas tergambar. Sepasang matanya bersinar di dalam gelap. Seringai yang dibentuk kedua bibirnya membuat Dama’ Bulan yakin bahwa sosok orang tua ini adalah sang ramaong sendiri.

“Paduka ramaong. Apa gerangan tujuan tuan membawa hamba ke alam masa lalu, tempat segala hal buruk berurutan terjadi? Apakah tuan hendak memperingatkan hamba dan rakyat hamba akan marabahaya yang akan kami hadapi, ataukah ini bentuk lain dari usiran para penunggu serta penjaga Hujung Tanah?” ujar Dama’ Bulan. Bahasanya kini dibuat lebih sopan dan sehalus mungkin.

Sosok tua bercawat merah dan berajahkan gambar senjata itu menatap tajam ke arah Dama’ Bulan. Sepasang mata macan dahannya memancarkan sinar dalam keremangan malam di bawah bulan.

Orang tua itu kemudian sungguh membalas pertanyaan Dama’ Bulan, tetapi dengan bahasa yang asing dan bukan bahasa Melayu seperti yang digunakan Dama’ Bulan. Anehnya, secara gaib, Dama’ Bulan paham dengan yang diucapkan sosok tersebut, setiap bulir kata dan setiap renteng kalimat.

“Tidak ada yang bisa engkau hindari, wahai anak manusia. Apa yang sudah engkau bawa dari tanah asal akan berulang. Itulah buah dari pohon hidup yang engkau putuskan untuk tanam. Tidak hanya memetiknya, engkau juga akan menyirami dan menyuburkan pohon itu dengan darah,” ujar sang ramaong. Suara gaibnya menggema memenuhi relung jiwa Dama’ Bulan; melibas hutan, langit dan sungai.

Dama’ Bulan tersungkur berlutut. Kedua kakinya tak mampu lagi menyangga tubuhnya yang bermandi keringat dan mulai melemah.

“Aku tidak bersedia untuk membiarkan rakyatmu menjadi korban atas hawa nafsu manusia. Aku tidak rela mereka tewas atau gugur di dalam peperangan lagi. Mereka harusnya bertumbuh, membangun kembali bangsa yang telah tercerai-berai. Aku ingin mereka memikirkan masa depan belaka,” ujar Dama’ Bulan lebih kepada diri sendiri.

Lihat selengkapnya