Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #29

Dedaup

Tambahan tiga ratus enam puluh lima hari lagi, dama’ Bulan menyaksikan perubahan yang cukup besar dalam kehidupan rakyatnya. Tahun pertama mereka menanami tanah ini dengan padi, Dama’ Bulan merasa bahwa semesta berada di belakangnya, mendukung dengan jemawa. Keengganannya untuk mempercikkan darah kawulanya lagi ia anggap adalah sebuah keputusan cerdas dan paling masuk akal yang pernah ia buat. Buktinya, para warga pemukiman baru di tanah pulau Hujung Tanah ini gemuk-gemuk, sehat-sehat, ceria-ceria. Anak-anak kecil yang ikut serta dengan rombongannya tumbuh besar, berlari telanjang dengan riang di bawah sinar mentari yang menembus ranting pepohonan, atau hujan yang ditumpahkan dari langit.

Namun, kini ia melihat tidak hanya anak-anak yang bugil dan telanjang bulat, para lelaki pun terlihat jarang mengenakan penutup badan selain sehelai cawat yang diikat menutupi pangkal paha mereka. Sebelumnya, para perempuan mengenakan pakaian berwarna-warni, dengan beragam jenis kain termasuk sutra dan sulaman emas. Bahkan dayang-dayang pun memiliki setidaknya tiga jenis warna berbeda. Sekarang, mereka hanya menutupi tubuh mereka dengan sehelai kain kemban berwarna gelap. Beberapa malah mengenakan kain putih yang telah menjadi hitam akibat usang dan kotor.

“Ampun Paduka Raja. Apakah gerangan yang hendak tuanku sampaikan kepada patik?” ujar Manok Sabong setelah menjura dalam-dalam kepada Dama’ Bulan.

Manok Sabong, laki-laki dengan raut wajah keras tetapi tampan itu terlihat mengenakan sehelai cawat yang ditutupi oleh selembar kain. Mungkin baru saja dikenakan secara tergesa-gesa karena dirinya diminta untuk segera menghadap. Sedangkan dadanya mengenakan pakaian luar tanpa lengan dan tanpa kancing, menutupi bahu sampai pinggang. Dama’ Bulan sudah memperhatikan sedari lama bahwa pada hulubalang juga telah mengenakan pakaian jenis ini. Sandang tersebut terbuat dari kulit kayu bulat yang dikuliti, kemudian dipukul-pukul oleh para perempuan untuk melunakkan seratnya sehingga lembut dan mudah dibentuk.

“Bagaimana caramu menjahit sandangan luar tanpa lengan itu, Manok Sabong?” tanya Dama’ Bulan.

Manok Sabong tersentak, tak siap dengan pertanyaan itu. “Ampun, tuanku. Eh, kami menjahitnya dengan sederhana menggunakan benang dari serat alami tanaman atau rotan.”

“Lalu, aku juga melihat ada beberapa hulubalang yang memiliki warna di pakaiannya. Bagaimana cara kalian membuatnya?” tanya sang Pangeran Muda.

“Ampun, tuanku. Kami merendamnya dengan pewarna dari buah mengkudu untuk warna merah dan nila. Kami juga menggunakan kunyit untuk warna kuning. Mohon ampun Paduka Raja. Apakah gerangan yang hendak Paduka ketahui dan inginkan? Apakah Paduka Raja tidak berkenan dengan sandang dan busana kami?” tanya Manok Sabong dengan sedikit khawatir atas pertanyaan demi pertanyaan Dama’ Bulan yang seperti tidak dapat ditebak kemana arahnya tersebut.

Lihat selengkapnya