Nilam Cahya telah berusia lima tahun dan Dama’ Bulan berusia delapan belas belas tahun. Tanpa terasa, sudah empat tahun pula ia memimpin rakyatnya di tanah asing ini. Kemenakannya, Nilam Cahya, sudah tumbuh menjadi seorang anak perempuan yang sehat dan ceria, meskipun sesungguhnya malang nasibnya.
Sang ibunda, permaisuri Paduka Kekanda Dama’ Bintang telah berpulang beberapa waktu lalu,tak lama berselang setelah Manok Sabong meninggalkan pemukiman mereka untuk mencari keberadaan negeri Tanjung Nagara.
Dahulu, sang permaisuri terlihat percaya diri dan segenap pesona hadir padanya. Busana kebesaran yang mewakili peradaban selalu ia kenakan. Sang permaisuri selalu mengenakan tiga helai kain utama, yaitu kain kemban atau punca potong, kain sarung songket menutupi bagian bawha tubuhnya, dan kain kelubung untuk menutupi kepalanya. Sedangkan pelengkap busananya tersebut, sang permaisuri hampir tak selalu alpa mengenakan pemeleh atau mahkota emas yang indah, untaian bunga mala atau kamboja, sunting mala, cucuk sanggul yang berjurai, dokoh, pontoh, tali pingang berpending, gelang kaki, gelang tangan cerai tujuh, cenggai serta keris berhulu tanduk Kuba Balar.
Lama-kelamaan dalam keadaan sakitnya itu, busananya pun berkurang. Sudah tak mungkin mendapatkan bunga mala atau kamboja segar untuk untaian penghias rambutnya. Kain kemban dan sarung songketnya perlahan menjadi lusuh, bahkan beberapa telah rusak, robek dan tak layak untuk digunakan lagi. Sedangkan kain-kain yang masih ada sudah pendar dan gugur warna-warna cerahnya.
Sang permaisuri sudah tidak memiliki kekuatan dan semangat untuk melawan penyakitnya itu. Keresahan dan kesedihan menggerogotinya. Bukan ia tak mau untuk melihat Nilam Cahya tumbuh besar dan merawatnya dengan tangannya sendiri, tetapi beliau sungguh tak kuat bertahan lagi. Sebelum wafat, dengan suara parau, ia memohon kepada Danum dan istrinya untuk menjaga baik-baik Nilam Cahya. Beliau bahkan sempat mengatakan kepada Dama’ Bulan bahwa sejak pertama ia percaya dengan sosok raja muda tersebut untuk membawa rakyat Songkhra ke dalam kesejahteraan, peradaban, perdamaian dan tentu saja kejayaan.
Nilam Cahya yang masih kecil dipaksa untuk memahami arti dari kehilangan sosok ibundanya tercinta. Ia juga dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa ia tidak memiliki sosok seorang ayah yang tidak ia kenali dari bayi. Danum dan istrinya lah yang membuat Nilam Cahya merasa diterima dan dipenuhi oleh kasih sayang.