Sang raja, Dama’ Bulan, memperhatikan jung raksasa yang digunakannya dan rakyatnya untuk melarikan diri dari serangan kakak kandungnya, Dama’ Bintang, dengan penuh makna. Ada kepedihan, ada kesedihan, tetapi ada keteguhan pula. Bumi beredar dan zaman beralih dalam beberapa tahun mereka tinggal di wilayah yang dinamainya Labai Lawai tersebut. Kehidupan adalah air yang harus menemukan salurannya untuk mengalir.
Dama’ Bulan mengangkat tangannya dengan tegas, memberikan titahnya.
Para prajurit, hulubalang dan rakyat langsung turun bahu-membahu saling bantu, melepaskan papan-papan dari kapal layar besar mereka tersebut untuk digunakan sebagai dedaup-dedaup lagi. Mereka menggunakan bahan-bahan dari kapal jung tersebut sebagai pelengkap dedaup-dedaup lain yang dibuat dengan menggunakan kayu-kayu dari pepohonan yang ada di wilayah mereka.
Mereka harus meyakinkan bahwa dedaup-dedaup yang mereka buat haruslah kuat, kokoh dan dapat membawa berbagai macam perlengkapan untuk perjalanan berat di depan. Mereka akan menghadapi beragam tantangan kembali.
Maka, setiap bilah papan ditata dengan mapan, pasak dipukul hingga melesak, setiap celah didempul hingga tak merekah. Atap yang dibuat dari rumbia pun diikat dan diperkuat dengan tali dari serat tanaman, terutama serat kelapa. Para pembuat kapal yang cekatan dan lihai menggunakan kapur dan minyak kelapa, mencampurkannya sehingga menjadi adonan selama setengah hari. Dempul digosokkan ke celah-celah papan dengan kulit pepaya untuk memastikan permukaannya halus dan kuat.
Semua bekerja setiap hari, siang dan malam. Mereka bergantian menyelesaikan pekerjaan mereka sekaligus mempersiapkan apa-apa. Makanan dan bekal, pakaian, cadangan peralatan, persenjataan, sampai bahan-bahan untuk upacara keagamaan.
Membutuhkan waktu berbulan-bulan sampai delapan dedaup kokoh tercipta. Delapan dedaup diisi dengan berbagai perlengkapan, disusun sedemikan rupa agar dapat menciptakan ruang yang pas bagi penumpang: rakyat dan prajurit. Perjalanan yang mungkin akan ditempuh selama berhari-hari tanpa putus, mengikuti arus sungai yang berkelok-kelok, hutan dan pepohonan lebat di kiri-kanan sungai, sekaligus bahaya yang mengancam, harus mereka hadapi ke depan.
Pada saat hari keberangkatan, dengan hati penuh dengan beragam perasaan yang berkecamuk, di depan rakyat dan kawulanya, Dama’ Bulan berdiri di tengah lapangan dengan sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, sisa-sisa ingatan akan kegiatan hari-hari, serta sisa-sisa harapan yang pernah berseri. Dama’ Bulan memekik bersumpah, “Jika umur tidak tiba pada kami, maka anak cucu kamilah yang kelak akan menghidupi dan membangun Labai Lawai ini!”
Setelah itu, sembari bermunajat, Dama’ Bulan menancapkan sebuah tongkat dengan mata dari batu giok di tanah, “Jika seandainya setelah kami pergi dari Labai Lawai ini ternyata Manok Sabong dan rombongannya kembali, mereka bisa mengikuti dan menyusul kami melalui lengkung takdir.”