Kegelapan yang begitu tebal tebal tumpah ruah memeluk hutan itu bagai selimut alam. Untaian kabut pekat menyelip melalui ranting dan daun pepohonan, bersulur-sulur seperti akar pepohonan itu sendiri. Bunyi suara binatang malam yang biasa riuh rendah di dalam hutan bercampur aduk dengan suara desiran kekelaman yang menutupnya dengan paksa.
Dama’ Bulan sang raja muda berdiri di atas tumpukan bebatuan di tengah sungai selebar belasan manusia berjejer. Arus sungai berkecipak liar, bergabung bersama hujan yang jatuh tajam bagai jarum-jarum langit menembus rerimbuhan pepohonan yang juga ikut bergoyang keras.
Arus air melontarkan diri mereka membasahi seluruh celana sutra selutut dan kain sarung yang menutupi bagian bawah tubuh sang raja muda. Bahkan air juga mencapai ke badannya yang bertelanjang dada serta kepalanya yang dibebat selembar kain menutupi rambut panjang sebahunya.
Arus sungai membelah, memunculkan kepala belasan buaya yang bak muncul dari perut bumi. Tidak hanya dari sungai, binatang melata itu berdatangan merayap lambat dari balik batang-batang pepohonan melewati rawa-rawa mencapai sungai. Moncong mereka yang berlumpur masih menutup tapi barisan gigi bagai mata gergaji menyembul dari sisi-sisinya. Kemunculan kumpulan binatang ini diiringi puluhan ekor ular yang meliuk-liuk melata di sela-sela rerumputan dan ilalang basah. Beberapa bahkan berjatuhan dari ranting menggelung dan saling bergulung bergulingan satu sama lain.
Katak beracun berlompatan dengan kaki-kaki kurus berlendir. Kodok berbintil-bintil hijau di kulit menempelkan perut buncit mereka di genangan air dan berbunyi nyaring, menggembungkan tubuhnya sebesar mungkin. Cacing di dalam tanah menggeliat-geliat resah. Kelabang, kadal dan beragam jenis serangga berbau sangit, pedas dan busuk merangkak bertumpuk-tumpuk.
Semua binatang ini digerakkan oleh semacam kekuatan tak kasat mata untuk merayap mendekati sosok pemuda yang mereka tuduh dengan lancangnya masuk ke dalam wilayah ini. Buaya membuka mulut mempersiapkan gigi-gigi runcingnya. Ular mendesis kemudian menganga, menegangkan tubuh panjang mereka menjadi kaku dan siap mematuk.
Dama’ Bulan memegang erat hulu keris yang terselip di bagian depan sarungnya. Sepasang matanya kepayahan melihat ke depan karena kabut hitam kelam memenuhi udara dan air sungai serta hujan menampar-nampar wajah dan tubuhnya.
Keris tanpa luk itu akhirnya tercabut juga dari sarungnya. Dama’ Bulan mengangkat tinggi-tinggi keris itu dengan segenap kekuatannya. Ia merapal barisan mantra dan menyerukannya dengan keras.
“Aku tau segala datuk moyangmu. Engkau berasal dari anak terkutuk jahanam. Engkau daripada nanah yang kuning. Engkau daripada nanah yang hitam. Engkau daripada miang buluh pecah, ….”