“Ah, seorang anak manusia yang mencoba unjuk diri rupanya. Aku dapat mengendus bau daging dan darah yang menempel di tulang-belulangmu. Mantra apa yang kau baca, Nak? Bahasa apa yang kau gunakan itu?” lembaran suara menyelip di udara sampai di telinga sang pemuda. Bahasa gaib yang ia terjemahkan dengan kemampuan gaib pula itu jelas maknanya.
“Ampun, maafkan kelancangan hamba yang hina dina ini. Nama hamba adalah Dama’ Bulan yang berasal dari tanah seberang, di sebuah negeri tempat lidah Melayu berbicara. Itu adalah bahasa dan diri hamba, seorang manusia Melayu. Hamba kemari bersama kerabat dan pengikut-pengikut hamba akibat sebuah peperangan yang mengakibatkan banyak nyawa melayang. Hamba kemari ingin menyelamatkan tidak hanya diri sendiri, melainkan kawula-kawula dan segenap darah keturunan bangsa negeri hamba,” jelas Dama’ Bulan. Kerisnya masih terendam di air sungai yang bergejolak liar itu. “Bila boleh hamba tahu, dengan siapakah gerangan hamba berbicara?” lanjutnya.
Mendadak suara tawa meledak saling tindih dan saling silang, seakan terasa menggema ke seantero bumi. Tawa gaib, tawa yang tak berasal kerongkongan manusia.
“Manusia, manusia .... Tak pernah mengherankan bagi kami melihat kalian saling berbunuh. Kalian saling serang, saling berusaha menundukkan satu sama lainnya dengan membantai bahkan saudara, orang tua, atau putra putri sendiri. Setelah mendapatkan apa yang kalian inginkan, dengan mudah kalian menyalahkan angkara murka, bahkan menjadikan iblis, setan, jin jahanam dan siluman keparat sebagai biang keladinya,” ujar mahluk gaib yang menjelma dalam bentuk suara seorang lelaki tua itu. “Aku adalah yang terlihat sebagai seekor buaya bagi kalian, hai manusia. Aku lah terlihat sebagai yang kotor dan yang terkutuk.”
Siluman buaya. Itu yang langsung terlintas dalam benak sang raja muda. Mungkin mahluk gaib ini adalah sang pemimpin dari segenap mahluk adikodrati lain yang hadir di tempat ini.
“Sekali lagi, ampun atas kelancangan hamba dan rombongan yang hamba pimpin. Datuk buaya yang hamba hormati dan takuti, kami adalah manusia-manusia yang sebatang kara. Kami terusir dari tanah dimana kami dilahirkan. Benar apa yang datuk buaya sampaikan, bahwasanya saudara tua hamba sendiri yang mengusir hamba serta membunuhi orang-orang yang ada di pihak hamba,” balas sang Dama’ Bulan.
“Lalu, engkau berharap untuk dapat menjejak tanah ini dengan kaki-kaki kotor bersimbah darahmu itu?” seru sang siluman buaya.
Dama’ Bulan tersentak. Ia masih belum dapat menemukan buaya mana tepatnya yang berbicara padanya. Namun, hawa sihir semakin memekat akibat seruan sang pemimpin kerajaan gaib itu. Para buaya kembali berenang mendekat bersama dengan hantu dan siluman beragam bentuk dan jenis.