Dama’ Bulan kini merasakan hatinya perlahan mengeras bagai bebatuan bukit-bukit di pulau Hujung Tanah ini. Ia sudah mengalami pasang surut perasaan. Kesedihan, kekecewaan, keharubiruan, kebahagiaan, kepuasan, kelegaan, sampai keputusasaan bergulung dan bergelung saling mencari keunggulan. Tekadnya telah bulat, bahwa ia dan rombongannya harus mencapai Negeri Tanjung Negara yang bakal menjadi bukti sampai pulau dirinya pada kejayaan bangsa Melayu Songkhra.
Tubuh, wajah dan rambutnya telah basah sempurna. Namun begitu, arus air yang bergelora telah padamlah pula. Para buaya tenanglah jua.
Namun, Dama’ Bulan sang raja muda paham bahwa meskipun ia telah menundukkan kegemparan ini dengan keris pusaka serta mantra-mantra, para siluman dan penunggu sungai dan daratan pasir serta bebatuan ini meminta sesuatu sebagai gantinya, sebagai bentuk penerimaan sekaligus kesepakatan.
“Apa gerangan yang hamba dapat lakukan agar hamba dan sanak keluarga serta kerabat-kerabat hamba dari negeri Melayu yang jauh ini dapat diizinkan untuk melewati kerajaan agung datuk buaya ini serta mendapatkan obat bagi penyakit kulit yang kami derita?” ujar Dama’ Bulan. Ia sekarang bersimpuh di atas bebatuan, dengan keris yang masih terhunus tetapi tak lagi ditancapkan ke permukaan air atau menempel di batu.
Sang siluman buaya menatap dalam ke wajah tampan sang pemuda. Ia berbicara, tanpa membuka mulut. Suara gaib meluncur melalui sela-sela bulir air dan butiran udara. “Hai pemuda manusia, inilah yang harus engkau lakukan. Kami akan tunduk di kakimu, di kaki keturunanmu di seluruh pulau yang dalam lidah manusiamu disebut Hujung Tanah ini. Bawalah lela naga yang kulihat terbaring di salah satu dedaupmu itu. Ledakkan di sebuah mungguk atau timbunan tanah yang menyerupai bukit, dimana di mungguk tersebut memendarkan cahaya pelangi. Di sanalah tempat kerajaan kami, kaum Lapongke berasal, tempat kerajaan mahluk-mahluk kotor seperti kami bersemayam. Ledakan lela naga adalah ledakan kesepakatan kita yang tidak akan hilang ditelan ruang dan waktu,” ujar sang datuk buaya yang ternyata memiliki nama kaumnya sendiri, yaitu Lapongke, itu.
Tak lama, sang datuk pemimpin kaum Lapongke kembali menenggelamkan dirinya ke dalam arus air, meninggalkan seringai aneh yang hanya Dama’ Bulan yang paham artinya. Begitu juga semua jenis buaya, ular, serta binatang melata yang berbalik arah dan merayap pergi meninggalkan Dama’ Bulan di tengah sungai.
Dama’ Bulan berbalik arah, berjalan cepat diantara bebatuan yang tersusun sedemikian rupa bagai jembatan sampai ke tengah sungai tersebut.
Danum, Datuk Udah dan para hulubalang menyambut kedatangan sang raja dengan raut wajah khawatir bercampur bingung menggantung dengan jelas.
“Cepat, tambatkan dedaup-dedaup kita dengan erat di tepian sungai. Cari akar-akar pohon yang kokoh. Jangan biarkan satupun anggota kerajaan kita yang berdiam di dataran pasir ini. Sejenak lagi arus besar akan menenggelamkan dataran yang terlihat di tengah ataupun tepian sungai. Bawakanku pula sebuah lela naga. Angkut dari dedaup dan letakkan di atas tanah!” titah Dama’ Bulan.