“Tidak akan ada yang bisa mengangkat lela naga itu jika bukan orang yang berani mengorbankan nyawa dan jiwanya demi cita-cita dan tujuan negeri Songkhra,” ujar Dama’ Bulan. Suaranya berat dan memiliki makna yang dalam.
Tanpa diminta lagi, setiap Panglima dan hulubalang, pendekar dan prajurit, sampai laki-laki berbagai umur dari yang sehat sampai masih menderita demam serta sakit kulit mencoba mengangkatnya satu-persatu. Tidak ada lagi rasa penasaran dan aneh diantara mereka, tergantikan oleh ras ingin unjuk diri. Adegan ini menjadi semacam sayembara untuk melihat siapa diantara para pemuda tersebut yang merupakan orang istimewa, dan terpilih.
Dama’ Bulan memahami bahwa setelah sekian lama tinggal di negeri orang, tanpa bertemu dengan penduduk asli atau bercakap-cakap dengan orang selain dari kemlompok mereka, rakyat mulai berpikir tentang tujuan hidup mereka. Keajaiban dan hal-hal gaib sudah menjadi bagian dari keseharian mereka yang tinggal di tempat asing tersebut.
Sayangnya tidak ada yang paham benar perkataan Dama’ Bulan di awal, bahwasanya yang diperlukan adalah sebuah pengorbanan, bukannya unjuk diri dan kesombongan hati.
Sampai seorang pemuda biasa, bertubuh kurus tetapi berwajah tegar dan tegas, mendapatkan kesempatannya.
Semua sudah menyepelekan sang pemuda. Bagaimana tidak, semua panglima sampai pendekar yang otot-ototnya telah diasah oleh peperangan saja tidak mampu mengangkat lela itu, mana mungkin seorang pemuda kurus berbekal raut wajah yang berniat itu berhasil melaksanakannya.
Tentu saja keajaiban kembali terjadi. Semua pasang mata menjadi saksi, sang pemuda yang bisa bekerja di keramba memelihara dan memanen ikan sungai itu mengangkat lela naga yang memang seharusnya sama sekali tidak sulit untuk diangkat.
“Ampun, Duli Tuanku, Paduka Baginda Raja. Patik akan membawa lela naga ini sampai ke tujuannya, sesuai dengan yang Paduka Raja titahkan,” ujar sang pemuda.
Dama’ Bulan mahfum dengan kemampuan yang pemuda yang berasal dari sebuah desa nelayan bernama Tanah Balang tersebut. Sang raja muda menafsirkan tanda-tanda alam melalui batinnya yang menunjukkan bahwa kelak Tanah Balang sendiri akan menjadi sebuah tempat yang agung dan besar.
Dama’ Bulan tak sempat tahu, bahwa sungguh kelak, dua ratus tahun kemudian, Tanah Balang akan jaya dengan nama Kesultanan.
Maka berangkatlah sang pemuda Tanah Balang yang berjalan tepat di belakang Dama’ Bulan, Panglima Singa Guntur Baju Binduh, dan empat orang prajurit dan pendekar disaksikan rombongan rakyat Songkhra yang tinggal menunggu kedatangan kembali sang raja.