Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #37

Swargaloka

Kelegaan sungguh merambat ke setiap jengkal kulit dan setiap titik pori-pori mereka yang sengsara oleh penyakit kulit selama serat-serat kabut tebal melanda rombongan tersebut. Aliran air yang muncul secara gaib dari mungguk membasuh tidak hanya wabah, melainkan pula semangat mereka yang sempat kendur.

Sang raja muda, Dama’ Bulan, kemudian baru memahami bahwa sang Bujang Tanah Balang adalah seseorang yang sebatangkara. Sanak saudaranya telah lama wafat di kerajaan Songkhra, akibat dari perselisihan di dalam kerajaan. Keputusan dan kebijaksanaan Dama’ Bintang yang memaksakan kekuasaan, berakibat pada kesewenang-wenangan kepada mereka yang menentanganya, apalagi sungguh-sungguh mendukung adik kandungnya, yaitu Dama’ Bulan. Keluarganya yang tidak banyak itu telah tewas sebelum serangan Dama’ Bintang ke istana paruh kerajaan Songkhra yang dipimpin oleh Dama’ Bulan sang Pangeran Muda.

Kesadaran akan nasib dari salah satu kawulanya yang setia ini membuat Dama’ Bulan semakin dewasa, semakin memiliki keyakinan kuat. Gambaran peperangan yang diberikan Ramaong di masa pimpinannya di Labai Lawai membuat hatinya mengeras. Ia bersyukur bahwa pengorbanan sang Bujang Tanah Balang tidak sia-sia. Kejayaan pribadi sungguh didapatkannya, sekaligus kejayaan kerajaan ikut berhasil ia bawa. Dama’ Bulan merasa semesta memberikan jawabannya, keturunannya akan terus dijaga oleh para Lapongke.

Dama’ Bulan menyadari benar bahwa pengorbanan demi pengorbanan ternyata memiliki makna yang luas. Ia bertekad mengeraskan hati, tidak lagi cengeng, tidak lagi terlalu gampang bimbang dan gamang. Bukan hanya nyawa tiap orang yang sekarang ada di bawha tanggung jawab dan naungannya, melainkan juga jiwa dan masa depan negeri Songkhra.

Untuk sejenak, meski warga sadar bahwa mereka kembali kehilangan salah satu bagian dari rombongan, mereka tetap memanfaatkan waktu dan berkat yang datang ke hadapan mereka dengan rasa syukur. Air dari mungguk terasa begitu nikmat, sejuk serta menenangkan. Tidak hanya mereka yang sakit oleh wabah yang kembali waras, warga lain pun merasakan tubuh mereka menjadi lebih kuat. Kelelahan, rasa takut dan khawatir entah bagaimana menguar ke udara bersama selibut kabut menghilang, terangkat melewati hutan terus ke angkasa. Mungguk dengan retakan di puncaknya yang mengalirkan air, membentuk sungai kecil yang sepertinya mendadak muncul merekah dari bumi itu bagai sebuah swargaloka mungil, cukup bagi bekal mereka melanjutkan perjalanan kembali.

Dama’ Bulan, sebagai seorang raja yang terbiasa menggunakan keluhuran jiwa dan kepekaan batin, memperhatikan semua rakyat dan anggota kerajaannya. Ia seperti melompati titian waktu. Tanpa sadar ia telah berada di Hujung Tanah hampir sepuluh tahun lamanya. Kemenakannya, Nilam Cahya, kini telah berusia sembilan tahun. Ia sendiri bila dihitung-hitung telah pula mencapai usia duapuluh dua tahun. Anak perempuan itu telah beranjak dewasa menjadi seoran gadis. Ia mampu menenun, memasak, dan telah memiliki beragam keterampilan yang diperlukan bagi seorang perempuan. Kawulanya yang lain, para punggawa dan pendekar, telah menunjukkan ketangguhan mereka di dalam hidup, tidak hanya melulu berurusan dengan peperangan, melainkan juga mengatur beragam hal, keperluan dan masukan tindakan yang harus dilakukan untuk menghadapai hari yang terbentang beserta masalah yang dihadapinya.

Dama’ Bulan menghela nafas panjang. Perjalanan panjang ini seperti tak ada habisnya. Meski begitu, ia tak lagi mempertanyakan tentang tujuan dan kejayaan kerajaan Songkhra. Ia telah tegas meneguhkan hati dan pikirannya bahwa semua keputusan berada di tangannya sekarang.

“Panglima Singa Guntur Baju Binduh,” panggil sang raja muda yang perlahan meninggalkan kemudaan untuk menjadi dewasa itu kepada orang kepercayaannya.

“Ampun, Tuanku Baginda Raja. Apa yang hendak Tuan perintahkan kepada patik?” ujar sang panglima sembari menjura.

Lihat selengkapnya