Dama’ Bulan kembali merogoh ke dalam dalam kotak kayu beralaskan kain sutra bermutu wahid itu. Namun, kali ini ia meraih dua batang tongkat.
“Panglima Singa Guntur baju Binduh dan Panglima Singa Elang. Menghadaplah kepadaku. Terima kedua tongkat ini, bukan sebagai penghargaan karena kalian telah setia kepadaku dan digdaya di dalam peperangan, melainkan sebagai tambahan tanggung jawab.”
Kedua panglima yang memang tangguh itu melakukan hal yang sama dengan Danum, tanpa merasa perlu mempertanyakan keputusan sang raja.
“Panglima Singa Pati Bangi dan Singa Layang. Maju dan ambillah dua tongkat cemeti yang lain. Kalian akan diembankan tugas sekaligus dibebankan oleh tanggung jawab yang sama dengan ketiga abdi Songkhra yang lain.”
Singa Pati Bangi dan Singa Layang saling berpandangan, tetapi sejenak saja. Keduanya maju cepat dan bersimpuh di depan sang raja untuk menerima tongkat cemeti tersebut sebelum kemudian undur diri.
Dama’ Bulan mengedarkan pandangan, memindai setiap pasang mata warganya yang menatap ke bawah, kecuali pada sepasang mata bersinar indah penuh semangat milik sang kemenakan perempuannya.
“Ananda Nilam Cahya, kemenakanku, putri dari Kakanda Dama’ Bintang. Mari lah menghadapku.”
Bila sebelumnya, lima tongkat cemeti pusaka Songkhra yang telah diberikan kepada sosok-sosok penting di rombongan ini tidak menimbulkan tanggapan ataupun bidasan, nama Nilam Cahya mendapatkan perhatian yang lumayan mengejutkan.
Dama’ Bulan mahfum. Nilam Cahya adalah seorang perempuan, masih belia pula. Bukan seperti Danum yang berada di lengkung yang bertentangan – matang, berumur dan berpengalaman, bijak dalam nasehat dan tindakan, bukan pula seperti para Panglima yang sakti serta makbul atau sigap dalam bertindak, apakah Nilam Cahya sanggup menerima tugas berat yang diembankan kepadanya?