Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #40

Aji Melayu

Diputuskan dan dititahkan oleh Dama’ Bulan bahwa rombongan yang terdiri dari delapan dedaup dibagi dua sama rata. Danum dan empat dedaup akan pergi berangkat ke arah utara, menyusuri anak sungai kecil sedangkan Dama’ Bulan sang Aji Melayu, raja kaum Melayu, berangkat ke arah timur dengan empat dedaup lainnya, menyusuri sungai besar.

Tujuh pemegang tongkat cemeti berkumpul, sehari sebelum perpisahan mereka.

Seberapapun pengalaman yang telah membentuk jiwa, keberanian, kepasrahan dan kesiapan mereka, perpisahan tetap menjadi suatu hal yang terus menghantui mereka. tak peduli seberapa sering dan terbiasanya dengan perpisahan, ia telah menjadi semacam momok yang selalu menghantui kebersamaan rombongan tersebut.

Namun, apa mau dikata, semua telah dipersiapkan. Lengkung takdir membawa mereka berkelok-kelok seperti sungai, mengikuti arus nasib dan kehidupan yang deras maupun tenang, lurus maupun berbelok tajam.

Haru biru, air mata dan letupan perasaan kembali terjadi. Kali ini sungguh Dama’ Bulan sang Aji Melayu melepas kebersamaannya dengan orang-orang yang selama ini telah menjadi menteri-menteri dan orang-orang kepercayaannya. Bukan hanya sebagai abdi, melainkan kawan dan sahabat dalam berpikir dan bertindak.

Ia adalah raja, penguasa sekaligus pemimpin. Keputusannya adalah titah yang menentukan nasib semua orang, masa depan seluruh rakyat Songkhra. Setelah diputuskan, pantang menjilat ludah sendiri. Sebagai raja, ia harus berani pegang, berani tanggung. Kata-kata ibarat mata pedang, setelah menancap pantang ditarik karena luka menganga akan tercipta. Air dicencang tiada putus, janji yang terucap, titah yang telah diputuskan, tidak mungkin dapat diurungkan apalagi dibatalkan.

Putri Nilam Cahya menatap penuh cinta kepada sang paman raja. Selama bertahun-tahun menetap di Labai Lawai, ia sudah diasuh oleh keluarga Datuk Udak. Keduanya sudah bagai orang tua sendiri. Bukan berarti bahwa  ia tidak dekat dengan sang paman, tetapi memang kebersamaan dengan Datuk Udak dan istrinya sudah seperti pengabdian kepada kedua orang tuanya. Dama’ Bulan pun sangat memahami dan menerima hal ini. Bukan tanpa sebab, bahkan telah gamblang dijelaskan bahwasanya itulah alasan Nilam Cahya pun mendapatkan tongkat cemeti sebagai titah pemberian tampuk kekuasaan dan kepemimpinan.

Sang raja sendiri mendekat ke arah sang kemenakan tercinta, memeluknya dan seperti tak habis-habisnya mengecupi kening sang dara. Dama’ Bulan sangat berharap ketika suatu saat mereka diketemukan lagi, Putri Nilam Cahya telah menjadi sosok tokoh yang besar, bukan hanya sebagai seorang perempuan dewasa, melainkan pemimpin Melayu pemegang tongkat cemeti berdarah kerajaan Songkhra.

Lihat selengkapnya