Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #43

Sebatang Gelonggongan Kayu

Sang tetua para mahluk adikodrati sudah sedaya upaya untuk melenakan rombongan bangsa Melayu tersebut. Telah tersebar kabar seantero bumi Hujung Tanah, bahwa ada pemimpin bangsa bertutur bahasa dan berbusana berbeda hadir dengan kekuatan gaib yang menyala-nyala macam api abadi. Nampaknya berita menggambarkannya sebagai seorang raja, pemimpin besar bagi rakyatnya, yang akan memenuhi pulau ini dengan keturunannya.

Ketika mantra dibacakan, para siluman ikan betina menggeliat-geliat kegerahan bahkan kesakitan di dalam air. Tubuh mereka yang serupa manusia tetapi tak dapat digambarkan dengan tepat karena juga serupa ikan serupa ular itu membuat warga rombongan bergidik ngeri.

Tanpa kata-kata yang bisa dinalar oleh lidah manusia, sang ketua siluman ikan betina bermata seturut ular telah mengaku kalah, telah mengaku menyerah. Ia tidak akan mengusik lagi rombongan itu yang telah terbukti memiliki pemimpin yang begitu tangguh dan digdaya. Seperti para Lapongke, mereka pun bersumpah untuk terikat melewati zaman, menjaga keturunan Dama’ Bulan sang Aji melayu di lapisan ketiga.

Maka, setelah melewati perairan dengan bebatuan di pinggir sungai itu, pertemuan mereka dengan sebatang kayu gelonggongan yang dijadikan tangga di tepian sungai tentunya memberikan berita yang melegakan. Tidak mungkin hanya dalam beberapa tarikan nafas saja mereka harus menghadapi gangguan mahluk halus kembali.

“Aku tidak merasakan hawa gaib dari tempat ini. Panglima Singa Pati Bangi, Panglima Singa Guntur Baju Binduh dan Panglima Singa Elang, merapatlah ke tepian. Bawa prajurit beberapa orang untuk berjaga-jaga. Bila memang tempat itu ditinggali, harap beramah tamah dan tidak menunjukkan pertentangan. Berjaga-jaga saja, waspada, tetapi bukan galak hendak menyerang,” perintah Dama’ Bulan kepada ketiga panglimanya yang berada di dedaup-dedaup yang berbeda.

Dengan cekatan, dedaup-dedaup menepi. Ketiga panglima turun dan merayap ke sebatang gelonggongan kayu yang digunakan sebagai tangga dari sungai ke dataran.

Berdebar dada setiap warga, berkecamuk bahkan. Berharap-harap cemas bahwasanya di atas sana merupakan pemukiman penduduk. Sudah tahunan mereka hanya bercakap dengan mereka sendiri, bergaul dengan sanak saudara sendiri. Kehadiran warga lain asli dari pulau ini dapat menunjukkan harapan baru. Meskipun, di saat yang sama, orang-orang asing juga dapat menjadi momok yang berbahaya bagi rombongan tersebut.

Dua prajurit muncul. Mereka berteriak kepada para prajurit lainnya, meminta bantuan dan kehadiran mereka di dataran sana. Satu prajurit tergopoh-gopoh turun melalui tangga, melompati satu dedaup ke dedaup lainnya untuk sampai di muka Dama’ Bulan. Ia bersimpuh, menjura dan melaporkan apa yang mereka lihat.

“Ampun Tuanku Paduka Baginda Raja. Hamba dan prajurit-prajurit lain hendak melaporkan apa yang hamba lihat. Banyak rangka rumah dan tempat tinggal bekas pemukiman dan hunian.”

Lihat selengkapnya