Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #44

Zuriat

“Nenek moyangku dari kerajaan Bangsa Melayu Songkhra telah terlebih dahulu berlayar ke tanah ini, ikut memberikan sumbangsih pada berdirinya kerajaan Tanjung Nagara yang mahsyur itu. Dari mereka lah aku mendapatkan banyak berita tentang betapa indahnya orang-orang bangsa Hujung Tanah. Mereka berkulit sawo matang, yang laki-laki berdada bidang dan bertubuh kuat, sedangkan yang perempuan berkemauan keras dan rupawan. Sayangnya mereka juga kerap dianggap masyarakat liar. Mereka saling berperang dengan menggunakan tulup, tombak dan pedang pendek. Ketika mengalahkan musuh, mereka memenggal kepala mereka dan membawa kembali ke pemukiman asal mereka sebagai tanda kemenangan.”

Panglima Singa Pati Bangi masih menundukkan kepalanya mendengar semua penuturan sang raja.

“Namun, kita juga pernah mendengar betapa besarnya Kerjaan Brahman Kutai Martapura ratusan tahun yang lali. Rajanya adalah Maharaja Kundungga yang awalnya juga hanyalah seorang kepala suku dari orang-orang asli Hujung Tanah. Barulah setelah dewa-dewa kita yang datang bersama bangsa Hindustan mempengaruhi wilayah ini, Kundungga menempatkan dirinya sebagai seorang raja, yang berturut-turut turun memimpin bangsa Hujung Tanah dengan keturunannya, Maharaja Aswawarman, serta Mulawarman Nala Dewa yang begitu mahsyur dan jaya atas budi pekertinya yang baik. Engkau dapat bayangkan, bagaimana mungkin bangsa semacam itu dikatakan liar dan buas? Hatta kelak bila kita bertemu dengan rakyat mereka, janganlah sombong, jemawa dan menantang. Hormatilah apa dan bagaimanapun budaya serta kebiasaan mereka. Hidup adalah karma dan takdir. Kehancuran peradaban bisa jadi merupakan dosa kita di masa lalu, dosa leluhur kita, dosa kita sendiri.”

Panglima Singa Pati Bangi mahfum dengan rajanya kini yang telah semakin matang dan bijak. Ia juga paham dengan perkataan Dama’ Bulan. Bangsa Melayu yang merasa besar, berasal dari trah Raja Demang Lebar Daun atau yang bergelar Dapunta Hyang Sri Jayasena, raja pertama kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Bukit Siguntang. Nama Melayu sendiri merujuk pada nama sebuah hulu sungai yang terletak di bukit Siguntang tersebut. Prasasti agung yang ditulis dalam bahasa Melayu purba ini merujuk pada tahun enam ratus tigapuluh delapan Masehi, abad keenam, yang berarti memiliki rentang delapan abad sampai masa cerita mengenai kisah Dama’ Bulan ini dituturkan.

Selama itulah bangsa Melayu berkembang, berpencar ke seluruh tanah dan laut, menunjukkan kebesaran mereka. Raja Demang Lebar Daun saja dipercaya merupakan keturunan dari Sikandar yang Agung, yang menaklukkan dunia sampai menyerang negeri Hindustan, yang juga dihormati oleh bangsa Arab sebagai Iskandar Zulkarnain sebagai seorang penakluk sekaligus pemimpin besar.

Namun, Sriwijaya sebagai ayah Melayu mula-mula sudah runtuh oleh kerajaan wangsa Chola yang beragama Saiwa dan serangan Pamalayu Singhasari beberapa tahun yang lalu. Begitu pula Songkhra, kerajaan tempat Singa Pati Bangi bernaung, yang hancur oleh karena ketamakan junjungan mereka sendiri.

Lihat selengkapnya