Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #45

Belasan Purnama

Pohon-pohon berbuah dan ladang-ladang padi telah siap dipanen. Bahan makanan meruah melimpah. Mungkin apa yang dipanjatkan ke dewa-dewa hanya sebagian yang dikabulkan. Sudah belasan bulan tak kunjung datang orang yang mereka tunggu. Warga asli pemukiman ini seakan hilang ditelan bumi. Menunggu mereka kembali sepertinya merupakan sebuah keinginan yang belum tentu niscaya, atau sama sekali tidak mungkin terjadi.

Melalui mata batin, Dama’ Bulan masih mampu melihat jiwa-jiwa manusia yang tersesat berkeliaran di setiap ujung pemukiman. Mereka yang tanpa kepala, tanpa bagian tubuh, yang terseok-seok berjalan, atau berlarian dengan penuh kecemasan dan rasa takut, membuat sang raja Melayu itu menebak bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk pada pemukiman ini. Nampaknya lagi-lagi perang, perselisihan dan pertentangan yang mengakibatkan melayangnya nyawa akan datang menghampirinya.

Apakah ini sesungguhnya rupa kehidupan bagi seorang raja dan rakyatnya? Lalu, apakah Dama’ Bulan kini kembali mengeluh?

Tidak! Apapun yang terjadi Dama’ Bulan sang Aji Melayu adalah seorang pemimpin, sang raja, sang Aji. Oleh sebab itu, tindakan penyelesaian adalah yang utama dibanding penyesalan.

“Rakyatku yang tercinta. Sudah belasan purnama telah kita lewati di tempat ini. Tempat yang memberikan kita harapan akan pertemuan kita dengan penduduk asli, yang artinya menunjukkan pula bahwa kita sudah dekat dengan kehidupan, terutama kerajaan Tanjung Nagara. Meskipun tidak sesubur Labai Lawai, tidak senyaman Labai Lawai, tempat ini sudah memberikan kita banyak manfaat. Kita kembali beristirahat dan berladang setelah terakir kita menetap di muara tempat berpisahnya rombongan kita dengan Danum, Datuk Udak dan kemenakanku tercinta, Putri Nilam Cahya.”

Semua warga mendengarkan dengan seksama ucapan junjungan mereka tersebut, bahkan sesungguh mereka juga tahu dan siap untuk melaksanakan titah yang akan diberikan kembali oleh Dama’ Bulan.

“Sudah saatnya kita untuk meninggalkan tempat ini. Perbekalan sudah cukup. Kita bisa kembali melakukan perjalanan sesuai dengan tujuan awal kedatangan kita di tanah ini.”

Hatta, itulah yang kemudian terjadi. Dedaup diperbaiki dan diperkuat. Semua lubang telah ditambal, semua kayu dan papan lapuk telah diganti.

Perjalanan di sungai yang selalu dilakukan dalam hitungan hari tanpa berhenti sudah diperhitungkan pula. Apalagi sekarang ada dua kemungkinan yang semakin pasti. Pertama, mereka masih lagi belum bertemu dengan pemukinan dan tentu saja kerajaan besar Tanjung Nagara tersebut, atau kedua, mereka akan menemukan pemukiman-pemukiman lainnya. Dama’ Bulan berharap bahwa rombongan Danum sekarang sudah mulai bertemu dengan masyarakat lainnya.

Bila kemungkinan pertama yang terjadi, mereka harus siap untuk kembali menetap di tempat tersebut. Itu sebabnya, tidak bisa dilupakan beragam bibit tanaman dan perkakas untuk berladang untuk dibawa dan disiapkan.

Tidak ada waktu untuk terikat pada satu tempat. Semakin kuat mereka betah tinggal di sebuah tempat, maka semakin berat pula mereka untuk meninggalkannya.

Beberapa hari kemudian, empat dedaup kembali berlayar ke arah hulu.

Perjalanan dedaup selama dua hari di atas sungai sepertinya begitu-begitu saja.

Lihat selengkapnya