Lambung dedaup yang dipimpin oleh Panglima Singa Pati Bangi tertembus ujung patahan tunggul. Menyobek lambung kapal, dan hampir saja mengenai salah seorang pendayung. Dedaup terangkat, orang-orang di dalamnya berteriak keras karena terkejut untuk kemudian bergulingan ke belakang, menumpuk di buritan dedaup.
Panglima Singa Pati Bangi mencengkram atap dedaup. Mudah baginya untuk menjaga keseimbangan dan tetap aman. Bukan tanpa sebab namanya terlukis kata Singa. Begitu juga dengan Singa Pati Kabut yang juga mampu menjaga diri. Namun, demi melihat banyak prajurit, pendayung dan warga timpang tindih begitu rupa, dedaup yang terombang-ambing di atas air sungai, dan pucuk tajam rekahan patahan pohon Adau yang menembus lambung dedaup, tak membutuhkan waktu lama sampai air memenuhi ruangan dan menenggelamkan semua orang.
“Para prajurit, bawa senjata kalian dan bantu yang lain untuk keluar dari dedaup. Kita akan berenang cepat ke tepian. Aku dan Singa Pati Kabut akan menunggu sampai kalian semua selesai sampai ke tepian!” seru Panglima Singa Pati bangi. Tongkat cemeti terselip erat di pinggangnya. Ia menyentuh tongkat itu dengan mantap sembari berpegangan di atap dedaup.
“Ampun, Tuanku. Tetapi, bukankah kita terpaksa harus meninggalkan dedaup dan semua isinya?” ujar salah satu prajurit yang berusaha menahan tubuhnya agar tak terjatuh ke dasar dedaup.
“Kita semua harus hidup. Dedaup ini akan menyangkut di tengah sungai. Jangan hiraukan itu dahulu.”
Air menerpa, menampar-nampar, menggoyangkan tunggul kayu Adau tersebut dengan keras. Bongkahan kayu juga terus berdatangan. Keputusan itu harus diambil segera.
Satu persatu penumpang dedaup melompat ke sungai, berenang secepat yang mereka bisa untuk sampai ke tepian sungai di arah selatan. Para perempuan dan anak-anak sebenarnya sudah cukup tangguh dan lihai dalam berenang, mengingat bertahun-tahun lama telah tinggal di Hujung Tanah dan akrab dengan sungai. Namun, para prajurit tetap membantu serta berjaga-jaga apabila mereka sampai terbawa arus. Dua orang laki-laki yang paling tua di rombongan mereka pun nyatanya memiliki ketangguhan yang tak terduga.
“Panglima, kita harus segera menyusul mereka. Kebanyakan dari rombongan kita telah sampai di tepian sungai,” ujar Singa Pati Kabut.
Panglima Singa Pati Bangi memandang wajah rekannya itu dengan air muka yang keras. Ia kemudian memalingkan wajah, melihat dedaupnya yang bergoyang-goyang keras tanpa perlawanan, digoncangkan oleh arus air sungai. Tumpukan benda, perkakas, dan harta benda mulai terendam air. Ia menghela nafas panjang dan mengembuskannya keras-keras.