Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #47

Kokok Ayam

Rombongan Danum, Datuk Udak dan Putri Nilam Cahya mencatat sejarah mereka di kutub yang berbeda, tetapi dari lengkung takdir yang sejalan. Rombongan ini juga mengalami tantangan dan gangguannya sendiri ketika sebatang pohon besar tumbang dan menutupi sungai.

Danum dan Datuk Udak memutuskan untuk mengambil arah sungai kecil yang dirasa lebih mungkin untuk menemukan negeri Tanjung Nagara. Pohon sebesar itu mungkin sekali tidak terlalu berarti di sungai besar mengarah ke Timur yang diambil oleh rombongan Dama’ Bulan. Namun, sungai kecil yang mereka lewati ini sungguh tertutup jalurnya sehinga tidak mungkin untuk dilewati dedaup mereka.

Arus air berkecipak, tak mampu menggoyangkan batang pohon dan sebagaimana sifat alaminya, mencari celah untuk dapat melewatinya. Dedaup Danum dan Datuk Udak bukan air yang dapat seenaknya saja lolos melewati pohon besar itu.

Keresahan dan kegelisahan merebak dan menjalar ke arah keempat dedaup yang jelas-jelas tidak bisa melanjutan perjalanan mereka tersebut. Sepertinya baru kemarin mereka semua dengan bulat hati memutuskan untuk memilih jalan yang berbeda dengan raja mereka, Dama’ Bulan, dengan pertimbangan-pertimbangan yang dirasa paling masuk akal. Namun, tepat pada hari ini, pohon sebesar itu melintangi sungai.

Akarnya yang tercerabut dari bumi saja begitu besarnya sampai-sampai membukit di tepian. Belum lagi ranting-ranting dan dedaunannya yang juga memenuhi daratan di seberangnya. Adalah sebuah tindakan yang tidak mungkin untuk mengangkat atau menyeret dedaup-dedaup mereka ke dataran hanya untuk sekadar melewati panjang pohon tersebut. Intinya, tidak ada cara lain selain menghilangkan keberadaan pohon tersebut di tengah sungai sebelum kayu-kayu dan sampah-sampah hutan yang terbuang ke sungai akan memenuhi batang kayu tersebut sehingga membuatnya semakin sulit untuk dilewati.

Danum sudah hendak melakukan sesuatu ketika ia melihat wajah-wajah rakyat yang ikut di dalam rombongannya terlihat kelam.

“Ada apa dengan kalian?” tanyanya tanpa menyembunyikan kebingungannya.

Para rakyat jelata yang biasa berperan sebagai petani dan pembangun, termasuk para dayang saling berpandangan. Mereka terlihat gugup, sampai salah seorang petani mengatupkan kedua tangannya di atas muka dan memutuskan untuk menjawab Danum.

“Ampun, Tuanku. Ampunkan hamba bila selancang ini. Namun, apakah ini bukan petunjuk dari semesta dan para dewa bahwasanya, ehm … bahwasanya kita tidak diizinkan untuk melewati sungai ini?”

Danum menghela nafas. Rambutnya sudah semakin memutih, termasuk kumis dan janggutnya. Kulit wajahnya yang berkeriput itu tertarik ketika ia memutuskan untuk tersenyum. “Ah, aku tahu sekarang maksud kalian.”

Lihat selengkapnya