Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #49

Di Balik Kabut dan Lapisan Dunia Gaib

Datuk Udak sebenarnya telah sedikit banyak memikirkan tentang keberadaan kerajaan Tanjung Nagara yang selama ini mereka cari. Ia tidak sempat untuk membicarakan hal ini dengan lebih dalam dengan sang raja saat itu karena berbagai macam kesulitan yang mereka hadapi. Lagipula, itulah sukarnya menjadi sosok yang lebih cenderung dianggap sebagai penasehat dan ahli batin. Datuk Udak pun sudah terlalu tua untuk mencoba memberikan pemikirannya yang orang-orang muda saja yang lebih piawai.

Tanjung Nagara mungkin sekali merupakan sebutan untuk Tanjungpuri, sebuah kerajaan di Hujung Tanah yang didirikan oleh sanak keluarga mereka di masa lalu, para pelarian Melayu dari negeri Sriwijaya yang telah runtuh saat ini. Sewaktu masih muda, Datuk Udak mendengar laporan-laporan dari para pedagang Cina di Songkhra bahwa kerajaan di Hujung Tanah itu mungkin disalahpahamkan dengan negara suku milik orang-orang Maanyan yang bernama Sarunai. Ini karena tempat kedua kerjaan tersebut berada di ruang dan waktu yang sama.

Hanya saja Datuk Udak tidak memahami sisa berita mengenai kerajaan Tanjung Nagara tersebut selain yang ia dengar sewaktu dulu.

Kerajaan purba Sarunai didirikan oleh orang-orang Maanyan yang pada sekitar tahun enam ratus Masehi memiliki kecakapan dalam dunia kelautan. Dikabarkan mereka adalah pelaut-pelaut tangguh yang pernah berlayar sampai ke negeri Madagasikara, tempat orang-orang Malagasi di pesisir timur benua Alkebulan. Bahkan nama Madagasikara itu sendiri disebut-sebut merujuk pada orang-orang Melayu atau Maanyan yang datang kesana. Menurut peta yang dibuat oleh Muhammad as-Idrisi, lebih dari seratus tahun sebelum masa Dama’ Bulan ini, yaitu seribu seratus limapuluh empat Masehi, wilayah itu disebut sebagai Gesira Malai: Pulau Melayu, dalam bahasa Arab. Hanya saja, setelah ratusan tahun kemampuan kelautan mereka ini mendangkal dan menghilang sehingga orang-orang Maanyan yang semula berada di pesisir masuk ke pedalaman hutan, terutama di wilayah Amuntai dan Tanjung.

Kesanalah seharusnya rombongan rakyat Songkhra pergi, ke arah selatan pulau Hujung Tanah. Amuntai adalah ibukota negara suku orang-orang Maanyan, sedangkan Tanjung yang berdekatan, berada di tepian sungai Tabalong, adalah ibukota kerajaan melayu Tanjungpuri yang mugkin sekali adalah kerajaan Tanjung Nagara seperti yang mereka ingin tuju.

Semua toh sudah berjalan seperti ini. Sebagai sosok yang dituakan dan dianggap bertanggung jawab atas keselamatan rombongan, Danum dan dirinya harus mencari penyelesaian dengan segera. Tidak ada lagi pengingkaran kenyataan. Danum dan Datuk Udak tentu tak ingin membiarkan rakyatnya kembali menebang pohon yang melintang di sungai kecil itu kembali, seharian penuh, kemudian ditemani dengan kokok ayam jantan yang membuat mereka berharap sedangkan keesokan harinya mereka akan kembali terpukul karena pekerjaan yang mereka lakukan ternyata sia-sia.

Datuk Udak meminta para lelaki yang bekerjasama memotong pohon besar itu untuk tidak melanjutkan pekerjaan mereka hari ini. Mereka diminta untuk berdoa, bermunajat kepada pada Dewa agar hambatan mereka kali ini dapat diselesaikan seperti waktu-waktu dahulu.

Tentu saja rakyat kembali rendah riuh oleh anggapan yang semakin kuat bahwasanya mereka kembali menghadapi kekuatan gaib Hujung Tanah.

Lihat selengkapnya