Langit retak, merekahkan cahaya mentari pagi jingga yang bersemangat, sama bersemangatnya dengan para warga yang berharap bahwa salah satu atau ketiga orang yang menjadi sukarelawan upacara itu mendapatkan petuah atau tanda-tanda bagi penyelesaian perkara mereka ini.
Sungguh, ketiganya memberikan kesaksian mimpi yang sama. Mimpi bukan sekadar bunga tidur. Di masa itu, dimana semesta masih begitu luas, dengan rahasia dunia yang sebagian besar diselimuti kegelapan serta manusia harus bersinggungan dengan para mahluk gaib penjaga malam, mimpi adalah alat pembuka takbir. Mimpi dimanfaatkan dengan sedemikian rupa, dengan kebijakan tinggi, dengan penerjemahan yang berakal budi, maka petunjuk pun boleh didapatkan.
Ketiga laki-laki bercerita kepada Datuk Udak, dikelilingi oleh warga seluruhnya bahwa batang pohon raksasa yang menutupi sungai mereka ini dapat dipotong dengan mengiriskan kacip, atau alat pemotong buah pinang, serta alat tenun milik seorang gadis perawan. Namun, sebelumnya batang pohon tersebut harus dicurahi dengan bukti keperawanan sang gadis.
Sosok yang tak dapat mereka lihat dengan baik selain bayangan serupa manusia yang menutupi langit-langit hutan hadir di dalam mimpi mereka, diselimuti dengan mantra yang bahkan terasa terus dibaca di dalam lidah dan bibir mereka.
Masing-masing tersebut menceritakan mimpi mereka dengan fasih dan sama persis.
Datuk Udak mengangguk pelan dengan patunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh ketiga pemberi pesan tersebut.
Masalah penggunaan kacip dan alat tenun sangat dapat dipahami oleh warga. Namun, perihal dicurahi dengan bukti keperawanan sang gadis menjadi teka-teki besar bagi mereka yang merasa belum bijak sehingga belum mampu membuka tabir rahasia mimpi tersebut.
“Ampun, Tuanku yang kami hormati, Datuk Udak. Hamba dan warga yang dungu ini hendak dengan lancang unjuk tanya. Mengenai kacip dan alat tenun, serta anak dara yang masih perawan masihlah dapat dipahami oleh kebodohan kami ini. Namun, mengenai syarat bukti keperawanan dan pencurahannya adalah hal yang terlalu besar untuk kami mengerti. Apakah gerangan sesungguhnya hal tersebut, Tuanku Datuk Udak?” tanya Singa Pati Bardat yang mewakili ketidaktahuan rakyat.
Datuk Udak mengangguk dan tersenyum. “Aku paham dengan kebingunganmu, Bardat. Namun, janganlah kemudian engkau heran dan khawatir. Aku sudah mendapatkan makna dan arti dari petunjuk semesta itu. Tunggulah sejenak dan persiapkan kembali alat-alat pemotong beserta para pemotongnya. Kita akan memulai kembali usaha membelah pohon yang meghanlangi jalan kita itu sebentar lagi.”
Singa Pati Bardat menghela nafas. Ia sudah tidak khawatir lagi karena sudah mendapatkan kejelasan dari Datuk Udak, meskipun tidak sungguh mendapatkan jawaban yang gamblang. Ia segera menjelaskan ini kepada Panglima Singa Pati Bangi dan warga.