Malam itu semua tidur nyenyak.
Kokok ayam jantan sama sekali tak terdengar lagi. Entah apakah itu pertanda baik atau malah buruk? Apakah itu berarti kekuatan gelap tak lagi ikut campur dalam menjadi halangan perjalanan mereka ini, atau apakah itu juga berarti bahwa tidak ada perkampungan di sekitar wilayah ini?
Apapun itu, yang jelas, wajah-wajah ceria dan bersemangat rakyat kembali terbit. Batang kayu yang sudah mereka potong semalaman tidak lagi kembali utuh.
Hari ini adalah saatnya untuk menyelesaikan pekerjaan.
Para perempuan: dayang-dayang, istri dan ibu, serta para pekerja ladang, langsung diperintahkan oleh Danum dan Datuk Udak untuk menyiapkan segala sesuatu untuk kembali dinaikkan ke dalam dedaup karena kurang dari setengah hari, batang kayu yang menghalangi sungau itu akan langsung terputus sehingga mereka dapat kembali melanjutkan perjalanan.
Dedaup-dedaup kembali didayung, berjalan di atas arus sungai, di bawah atap hutan dari ranting dan dedaunan yang dianyam sedemikian rupa oleh alam. Sinar matahari menelisik di sela-sela pepohonan menubruk atap rumbia dan sirap dedaup.
Para pekerja sudah memastikan bahwa pembuatan dedaup-dedaup itu, semenjak mereka meninggalkan Labai Lawai, kuat dan sempurna. Kayu ulin sebagai badan dedaup, disapu dengan kapur untuk menahan lapusannya dari kerusakan air, ditambah dengan kayu meranti sebagai rangkanya, diikat dan dikuatkan dengan tali rotan. Kayu rengas digunakan untuk bagian-bagian dedaup yang lain. Getah pohon damar diselipkan di sela-sela papan ulin di lambung dedaup sebagai dempul untuk menahan air masuk.
Setelah bertahun-tahun, dedaup sudah menjadi bagian dari hidup mereka, sebuah bangunan dan negeri yang berjalan.
Setiap orang menerawang.
Tatapan mereka melewati ruang dan waktu, menembus semesta, melayang-layang di gambaran kehidupan yang entah pasti entah tidak, entah nyata entah hanya khayalan belaka. Namun, bagaimanapun kehidupan adalah perjalanan itu sendiri. Tidak peduli apakah mereka sedang berada di atas dedaup yang didayung melewati sungai, atau menetap di atas tanah. Perubahan dan perkembangan adalah niscaya, itu adalah sifat alami kehidupan itu sendiri.
Tidak ada yang bertanya-tanya kini ketika mereka telah melewati patahan batang pohon raksasa itu tentang apa dan bagaimana Datuk Udak menerjemahkan petunjuk serta permintaan di dalam mimpi ketiga sukarelawan tersebut.
Putri Nilam Cahya sendiri pun tidak ambil pusing. Ia tidak lagi memikirkan bagaimana inangnya memutar kata sehingga dapat sesopan mungkin memintanya memberikan air seninya sebagai syarat upacara. Ini hanyalah pemberian sepele, bukan perihal yang harus dibesar-besarkan.
Harusnya begitulah yang terjadi. Hanya saja, tidak sampai setengah hari mengayuh dan belum menemukan satu tanda kehidupan pun, Putri Nilam Cahya merasakan perubahan yang mendadak di dalam dirinya.