Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #52

Air Mengalirkan Bahasa

Sudah dua hari dedaup didayung tanpa henti, begitu pula demam Putri Nilam Cahya yang tak kunjung reda, bahkan semakin parah.

“Ampun, Tuanku. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kita harus dapat menemukan tempat untuk beristirahat, tidak berada di atas air terus-menerus. Keadaan Paduka putri semakin meresahkan. Selain bermimpi, Paduka putri juga mengigau dan panasnya tidak mau turun,” ujar sang istri kepada Datuk Udak.

Bahkan walau berada di atas dedaup dan hampir tidak benar-benar saling bercakap-cakap, semua orang tahu bahwasanya sang putri sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Angin rupa-rupanya mengembuskan kata-kata, dan air mengalirkan bahasa.

“Tidak mungkin untuk menutupi kenyataan bahwa sang putri sedang sakit. Lagipula, akan menjadi masalah bagi Paduka sendiri bila kita tetap bersikeras menyembunyikan hal ini hanya demi alasan agar tiada seorang pun yang kembali merasa terbebani oleh permasalahan yang terus-menerus mendera kita.”

Datuk Udak menyilangkan tangan di belakang punggung. Ia menatap jauh ke depan, melampaui arus dan badan sungai yang berkelok-kelok.

“Ampun, Tuanku. Lalu, adakah tanda-tanda dari semesta mengenai apa yang terjadi pada Tuan Putri? Karena, sudah dua hari Tuan Putri belum menunjukkan ciri-ciri membaik dari demamnya,” tanya sang istri.

Datuk Udak menatap wajah istrinya tersebut. Setelah bertahun-tahun mereka menikah dan menjadi pasangan hidup, selama itulah keduanya sudah dapat saling membaca guratan-guratan di wajah masing-masing, memaknainya, dan saling memahaminya.

“Ini seperti buah simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakanbapak mati. Perjalanan kita terhalang oleh sebuah pohon besar yang tumbang dan hanya bisa dipotong setelah disirami oleh air kencing seorang perawan. Perawan itu ada Tuan Putri Nilam Cahya. Akan tetapi, di saat yang sama, air kencing itu sendir dianggap merupakan sebuah penghinaan bagi mereka yang empunya dunia di seberang sana. Bagai buah mahkota dewa yang bermanfaat bagi kesehatan tetapi juga beracun di saat yang sama, bagaimana kita dapat melewati pohon yang tumbang itu tanpa melakukan syarat yang juga dianggap menghina itu? Aku tidak akan mengorbankan seorang pun lagi sebagai syarat untuk melewati tantangan. Paduka Putri Nilam Cahya tidak akan aku izinkan menjadi syarat izin kaum Lapongke lagi.” Datuk Udak menghela nafas. “Aku yakin, Baginda Raja Dama’ Bulan pun akan melakukan hal yang sama denganku.”

Datuk Udak memberitahukan ini kepada saudara kembarnya, Danum, yang kemudian memerintahkan semua dedaup untuk mengikuti dedaup yang dipimpin oleh Datuk Udak di depan bersama Putri Nilam Cahya yang sakit di atasnya.

Dengan berbekal peta gaib yang didapatkan dari penerawangan batinnya, Datuk Udak memimpin pencarian ‘rumah’ sang mahluk adikodrati yang keberatan atas perjalanan mereka.

Beberapa kali mereka berhenti di tepi sungai. Hulubalang dan beberapa prajurit ikut turun ke tanah, menyertai Datuk Udak untuk mencari tempat yang diarahkan oleh peta batin Datuk Udak.

Lihat selengkapnya