Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #53

Ajom Sompai

Putri Nilam Cahya semakin melemah. Demamnya masih membara, meski rasa dingin ditubuhnya dibuntali dengan lapisan kain serta selimut tebal. Sepasang kakinya yang ramping itu terseok-seok, tertatih-tatih tak selaju semangatnya untuk melawan rasa sakit itu.

Ketika wajahnya memucat, dan tubuhnya semakin melemah, keduanya terhenti di ambang sebuah gua batu yang sempit. Tak ada cahaya bulan, tak ada bintang gemintang di angkasa yang menyinari wilayah itu. Akan tetapi, gua batu itu bersinar secara mandiri, seakan menjadi penghasil cahaya itu sendiri.

Datuk Udak memandang sosok junjungannya itu dengan raut wajah keras. Ia kasihan dan prihatin dengan keadaan sang putri, tetapi memang inilah satu-satunya jalan untuk bisa menuntaskan demam akibat kutukan gaib dari sosok dari dunia seberang tersebut.

“Apakah Tuan Putri baik-baik saja? Ampunkan hamba karena terpaksa membawa Tuan Putri ke tempat ini dalam keadaan yang hina ini,” ujar Datuk Udak.

Putri Nilam Cahya yang masih berumur belasan itu tersenyum lemah. “Tidak apa, Datuk. Aku adalah pemegang tongkat cemeti, salah satu orang yang dipercayakan oleh Pamanda Dama’ Bulan sang Aji Melayu sebagai seorang pemimpin pula. Kita tak bisa berlama-lama membuat rakyat kita kebingungan dan menunggu hal yang tidak pasti, Datuk. Lakukan apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkan demam ini, sehingga kita dapat kembali melanjutkan perjalanan.”

Ucapan Putri Nilam Cahya membuat Datuk Udak terharu sekaligus sedih. Usia belasan seperti ini sudah wajarnya ia mendapatkan pasangan dan menikah. Namun, itu terjadi hanya pada kaum papa, kaum yang terpaksa. Bagi seorang putri kerajaan, belasan tahun adalah masa dimana ia belajar marwah kerajaan, nilai-nilai dan budaya istana, sembari masih manja menikmati kekayaan negeri termasuk yang ditawarkan dalam bentuk pelayanan para dayang atau penjagaan para ksatria.

Kini, gadis bangsawan itu dipaksa harus menjadi dewasa dalam pemikiran para papa dan para jelata. Ia harus siap menanggung hidup para rakyat dan berpikir sebagai seorang pemimpin.

Datuk Udak menghela nafas. Ia mengangguk pasti. “Mari, Tuan Putri. Kita harus masuk ke dalam gua tersebut. Hamba harap Tuan Putri percaya dengan hamba.”

Putri Nilam Cahya tersenyum, masih sama lemahnya, kemudian mengangguk.

Gua yang dimaksud sebenarnya malah cenderung mirip sebuah rekahan menyamping yang memanjang di permukaan dua batu belaka. Untuk masuk ke dalam gua itu, Putri Nilam Cahya dan Datuk Udak harus satu persatu. Itupun mereka harus menunduk serendah-rendahnya.

Keadaan itu diperparah dengan aliran air serupa riam yang membuat tubuh keduanya menjadi basah, padahal Putri Nilam Cahya masih didera demam.

Ruang di dalam gua begitu gelap dan lembab.

Lihat selengkapnya