Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #58

Kata dan Laku

Syahdan, waktu bagai turunnya hujan ke bumi yang tak mungkin terhambat oleh apapun. Danum dan segenap warga di Kampung Bongkal sudah semakin resah dan gelisah. Mimpi buruk kembali terjadi. Kepergian Manok Sabong bertahun-tahun yang lalu seakan dilukis ulang sama persis dengan apa yang terjadi pada rombongan Singa Pati Bardat.

Telah berbulan-bulan punggawa bersama beberapa hulubalang Songkhra itu tak kembali. Dari sebuah kejadian sederhana, yaitu mencari sumber asap untuk membuktikan wilayah yang dihuni manusia lain, merembet ke perihal yang lebih pelik.

Tak ada yang bisa dilakukan selain terus menjalani hidup. Doa-doa, upacara dan persembahan terus dilayangkan kepada para dewa untuk mendapatkan jawaban atas segela kemelut ini serta menunggu terkuaknya rahasia mengenai keadaan para hulubalang mereka tersebut.

Rumah-rumah dan bangunan tempat mereka tinggal di Kampung Bongkal terus diperkuat. Ladang terus dipanen. Ilmu keprajuritan tetap dilatih. Dan Putri Nilam Cahya terus tumbuh dan kini menjadi seorang gadis yang matang.

Gadis itu sadar bahwa kesukaran telah menjadi kulit keduanya sejak ia dilahirkan. Kisah-kisah indah tentang istana agung, puluhan dayang dan taman indah penuh bebungaan yang harus mewangi tidak mampu ia gambarkan dengan baik di dalam benaknya. Datuk Udak dan istrinya, yang telah dianggap sebagai kedua orang tuanya sendiri, terus-menerus meyakinkan bahwa ia adalah seorang putri dari sebuah kerajaan yang besar nun jauh di sana.

Namun, kemalangan ini membuatnya tidak sanggup memercayai itu semua.

Namun toh ia sudah menerima. Tongkat cemeti yang dianugerahkan oleh pamannya sendiri, Dama’ Bulan, sudah menjadi tanggung jawab yang suka tak suka sudah menjadi bagian dari jati dirinya. Ia adalah seorang pemimpin.

Putri Nilam Cahya tersenyum samar dan hambar.

Tubuhnya terlilit selembar kain kemban. Dengan tiga orang dayangnya, malam itu mereka pergi ke sungai kecil di ujung kampung untuk mandi dan membersihkan diri. Entah mengapa, malam itu terasa gerah, seakan panas matahari siang berhasil menyobek tirai malam dan mengintip ke dalamnya.

Air sungai bergemericik menggoda.

Lihat selengkapnya