Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #59

Tribhanga

Jarum-jarum cahaya berpendaran dan berpantulan ceria bersama riak-riak air di tubuh telanjang Putri Nilam Cahya. Putri Nilam Cahya menutup kedua mata, berdiri tegak membusung. Dadanya mencuat tanpa penutup bagai arca Durga Mahisasuramardini. Begitu pula kedua tangannya terletak di samping dengan sikap tribhanga, tiga lekukan: leher, pinggang dan lutut yang berlekuk menawan seperti kelokan sungai di Hujung Tanah ini.

Sosok laki-laki dewasa di dalam keremangan malam itu tak mampu menahan gejolak keterpesonaan yang menggetarkan jiwa serta membangkitkan berahinya. Bukannya ia tak pernah melilhat tubuh perempuan tanpa busana, bukannya ia tak pernah memperhatikan buah dada wanita yang bergelantungan, bahkan perempuan-perempuan di kampungnya – seperti kebanyakan perempuan suku asli pulau ini – sudah terbiasa tak mengenakan penutup di bagian dadanya, tepat seperti penggambaran keindahan sikap tribhanga dewi-dewi Hindu kerajaan Mataram kuna atau Singhasari di Jawa maupun tanah Melayu.

Namun, sosok perempuan yang bermandikan cahaya di depannya itu sungguh dewani, terselubung kemuliaan.

Putri Nilam Cahya sendiri juga seperti sedang kerasukan mahluk-mahluk semesta yang terus berpendaran di dalam pandangannya. Ia menjelajahi tubuhnya sendiri dengan jari-jarinya, begitu mendewakan nan menghargai apa yang telah dewata anugerahkan. Bila ia memang sungguh seorang putri, maka harus ada yang memujanya. Bila ia sungguh seorang pemimpin, maka harus ada yang menyertainya.

Laki-laki tak dikenal yang berbalut kegelapan, dengan selembar cawat menutupi pangkal pahanya, meletakkan sebatang tombak yang sedari ia pegang ke tanah. Begitu pula bilah pedang pendek yang tersampir di pinggangnya, dilepaskan dan disandingkan dengan tombak tersebut. Ia berjalan pelan tetapi pasti, menyibak ranting pepohonan, kemudian mencelupkan kakinya ke air sungai yang sejuk tetapi perlahan menghangat bersamaan dengan detak jantungnya yang tak terkira kecepatannya tersebut.

Putri Nilam Cahya tersenyum walau sepasang matanya masih tertutup. Serabut air yang mengempas pelan serta menggelitiki kulitnya sejuk dan hangat di saat yang sama. Kulitnya meremang oleh kenikmatan tak terkira yang perlahan merebut kendali atas kesadarannya. Ia merasa menjadi seorang dewi, hapsari atau bidadari, yang berjaya atas dirinya sendiri.

Ketika ia membuka mata, sosok sang lelaki yang tak dikenal ada di depannya. Tak berbusana, rajah menutupi tubuhnya yang penuh dengan otot-otot yang ramping tetapi liat.

Putri Nilam Cahya tak pernah melihat kejantanan seorang laki-laki yang bangkit dan perkasa seperti itu. Mungkin ia sedang berkhayal atau bermimpi, tetapi ia sudah tak peduli lagi. Selama ini ia tak pernah memberikan dirinya sendiri penghargaan yang cukup. Ia selalu membebankan dirinya sendiri dengan segala hal yang berbau tanggung jawab serta kewajiban sebagai seorang putri bangsawan. Ia selalu menahan gejolak berapi-api di dalam jiwanya atas dasar ketaatan buta, pemasrahan diri. Kini, di titik ini, Putri Nilam Cahya melepaskan hasrat dan cinta dirinya, penghargaan atas semua laku dan kata yang telah dijaganya selama ini.

Sentuhan sang bidadara tanpa nama, yang berajah di permukaan kulitnya, yang kejantanannya bangkit begitu agung, membuat Putri Nilam Cahya tak sanggup menahan diri lagi.

Lihat selengkapnya