Gadis dengan tutur kata dan perilaku terpuji hampir tanpa cela itu kembali jatuh sakit. Istri Datuk Udak yang sudah berperan seperti ibu kandungnya sendiri itu memberikan perhatian lebih yang sepertinya tak pernah berkurang barang sejumput jari pun.
“Malang nasibmu, ya, Putri cantik jelita. Sikap dan pribadimu yang apik nan baik itu tidak sebanding dengan ragamu yang selalu ditimpa sakit dan penderitaan,” begitu ujar istri Datuk Udak di dalam hatinya.
Sudah beberapa hari Putri Nilam Cahya muntah-muntah di pagi dan sore hari. Tubuhnya lemas, kurus dan kulitnya memucat, seperti ada yang menarik dan menyedot kekuatan dari dalam tubuhnya.
Sepasang kembar Danum dan Datuk Udak ikut kembali cemas dengan keadaan Putri Nilam Cahya. Gadis itu adalah seorang putri, perempuan berdarah biru yang merupakan keturunan langsung Dama’ Bintang, putra sulung mendiang Raja Tua kerajaan Songkhra. Di bumi Hujung Tanah ini pun, gadis itu diberikan kepercayaan dan tanggung jawab memegang salah satu tongkat cemeti yang dianugerahkan oleh Dama’ Bulan, pemimpin dan raja mereka yang paling mereka akui sampai saat ini. Tentu, kesehatan sang putri adalah keutamaan mereka pula.
Hanya saja, kali ini, pengalaman mereka bertahun sebagai tetua, pemimpin, pemikir dan orang bijak, menampakkan nalurinya. Kecurigaan yang menempel di ujung lidah mereka menunggu untuk menguar menjadi kata-kata.
“Apakah Tuan berpikir seperti yang hamba pikirkan?” tanya sang istri kepada Datuk Udak suatu malam.
“Ah, aku tak mau berpikir sampai sejauh itu, istriku. Engkau sendiri yang berulang-ulang mengatakan padaku betapa engkau memuji sikap, perilaku dan tabiat junjungan kita tersebut. Dari bayi sampai sudah menjadi perempuan matang seperti sekarang ini, engkau tak pernah lepas darinya. Tidak hanya merawat dan menjaga, tetapi menjadi tempatnya untuk bercerita dan berkeluh kesah pula,” balas Datuk Udak.
Sang istri menghela nafas panjang. Ia menepis helaian rambutnya yang sudah memutih di keningnya. “Tapi, kami bukan sepasang kembar siam, Tuanku. Banyak masa dimana kami tak bersama. Hanya dewata yang bisa melihat setiap gerakan serta menghitung setiap nafasnya.”
“Kita tak bisa hanya menduga-duga, apalagi sampai menuduh segala. Biarkan waktu yang menjawabnya. Kita akan berdosa kalau sampai mendahului takdir,” ujar Datuk Udak mencoba bijak.
Ia mungkin adalah sang ahli kebatinan, sang tua bijak yang melihat dunia dari mata ilmu batin, tetapi, mengetahui kenyataan yang sepertinya sukar diterima tak pelak membuat jiwanya menolak pula.
Maka, sungguh, waktu yang menjawabnya.