Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #61

Karmaphala

Anak laki-laki kecil itu selalu melihat sesuatu dengan penuh takzim dan rasa takjub. Wajahnya tampan, sangat tampan bahkan, untuk anak kecil di bawah lima tahun. Sepasang matanya berbinar ketika menatap sang ibunda, Putri Nilam Cahya. Rasa malu yang selama bertahun-tahun mendera sang perempuan dan tentu saja para tetua yang berharap tinggi padanya sebagai seorang putri berdarah biru perlahan sudah berganti dengan rasa bangga serta cinta yang membludak.

Arya Jamban menjadi kegemaran baru para anggota kerajaan Songkhra di bawah pimpinan Danum tersebut. Para dayang perempuan senang sekali bermain-main dan bercanda dengan anak laki-laki yang penuh dengan semangat dan keriangan tersebut.

Putri Nilam Cahya tentu masih tak dapat menyembunyikan rasa bersalah sekaligus kebingungannya yang bertahan bertahun lamanya. Namun, sekali lagi, rasa cinta yang tumbuh semenjak anak laki-laki itu di rahimnya juga tak mungkin ia tidak acuhkan begitu saja.

Putri Nilam Cahya harus sanggup menahan rasa ketika melihat tatapan rakyat yang terarah kepadanya selama ini. Ia tidak bisa tidak berpikir bahwa mereka membicarakan tentang dirinya. Seorang perempuan matang pemegang tongkat cemeti, seorang pemimpin, yang tahu-tahu sudah melakukan tindakan terlarang nan tak terpuji, entah dengan siapa. Bila hal itu dilakukan dengan rakyatnya sendiri, bagian dari rombongan Songkhra ini, jelas merupakan tindakan yang tidak bisa diterima. Entah karena mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, atau karena anggapan tidak ada laki-laki yang pantas untuk seorang putri seperti dia selain seorang pangeran pula. Namun, bila sang putri melakukannya dengan sosok asing di luar sana, bukankah itu lebih memalukan, lebih mengerikan?

“Anakku sudah menanyakan tentang keberadaan ayahnya, Datuk. Bagaimanapun, aku adalah seorang pemimpin. Pamanda Dama’ Bulan, paduka raja Songkhra, telah memberikan dan mempercayakan salah satu tongkat cemeti kepemimpinan. Beliau yakin bahwa aku sanggup dan pantas untuk memegangnya. Kini, selain rasa bersalah, nampaknya takdir sudah harus memaksaku untuk menjalankan hidupku sebagai seorang pemimpin,” ujar Putri Nilam Cahya kepada Datuk Udak dan Danum.

Arya Jamban berlarian, kemudian memeluk kaki ibundanya. “Ayah? Aku mau ayah,” ujarnya tanpa dosa.

Tentu saja Danum, Datuk Udak, sang istri, serta beberapa tetua warga tidak bisa menerimanya begitu saja. Mereka menanyakan dan mempertanyakan maksud Putri Nilam Cahya dengan kata-katanya itu.

“Tuan Putri hendak kembali memecah kelompok kita setelah bertahun-tahun lalu para hulubalang bersama Singa Pati Bardat meninggalkan kita?” ujar Datuk Udak yang merasa begitu dekat dengan sang putri.

Lihat selengkapnya