Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #62

Gegap Gempita

Anak-anak sumpit menderu dan bersiulan di udara. Para hulubalang menunduk dan merunduk-runduk. Kepiawaian mereka dalam bertahun pelatihan keprajuritan yang selalu diasah mendapatkan waktu dan tempat untuk dibuktikan. Tameng kecil membulat dengan lapisan campuran logam dan rotan menepis jarum-jarum beracun tersebut.

Tidak ada yang terluka.

Syukurnya.

Sang punggawa, pemimpin prajurit dan hulubalang pilihan Putri Nilam Cahya berseru keras, “Hentikan serangan. Kami tidak berniat jahat!”

Semangat para hulubalang ketika pertama melihat sekelompok perempuan sedang mencuci di pinggir sungai kecil berbatu-batu yang mereka lalui setelah beberapa hari menyusuri sungai tidak dapat disembunyikan. Kehausan mereka akan hubungan manusiawi dengan manusia lainnya jelas terlihat. Inilah yang dirasakan oleh rombongan Singa Pati Bardat yang pergi dan tak kembali bertahun-tahun yang lalu untuk menjelajahi hutan, menelusuri bukti keberadaan masyarakat asli pulau ini yang sama sekali tak pernah mereka temui.

Para perempuan, berkain, tua dan muda, kebanyakan tak berpenutup dada seperti gambaran dewi-dewi di arca-arca, demi melihat kedatangan perahu dengan bentuk yang tidak biasa mereka lihat dan orang-orang yang sama sekali tak mereka kenal, berdiri dengan awas. Tepat ketika beberapa prajurit meloncat turun dari dedaup dengan bersenjatakan tombak dan perisai ke atas bebatuan yang tertanam di seantero sungai, para perempuan tersebut langsung berlari masuk ke dalam hutan, meninggalkan apapun yang mereka sedang kerjakan saat itu juga.

Para prajurit yang bersemangat, maksud hati hendak menyapa sesopan mungkin, malah terlihat membahayakan serta menakutkan.

Bahkan saking bersemangatnya, beberapa prajurit berlari masuk mengekor para perempuan tersebut sebelum secara mendadak, serombongan laki-laki bercawat, berikat kepala dengan hiasan bulu-bulu burung, tubuh mereka berajah berpenuh, bersenjatakan tombak di tangan kanan, perisai kayu panjang bersegi enam dan menggantungkan sebilah pedang pendek di pinggang, menyerbu para prajurit. Tombak yang mereka gunakan ternyata juga berguna sebagai sumpit panjang. Mereka berlutut, mengangkat batang tombak panjang itu, menempelkan bibir di pangkal tombak sebelum mengembus keras.

Bila tak memiliki kemampuan yang memadai dan piawai, dua tiga prajurit penjaga Putri Nilam Cahya  pasti sudah tumbang terkena sumpit. Dengan cekatan mereka berhenti, bergulingan, menunduk merunduk menahan dengan tameng, atau bersembunyi di balik pepohonan. Rombongan prajurit lain yang menyusul, termasuk sang punggawa segera menunjukkan tanda-tanda perdamaian dan niat baik.

Deru hujan anak sumpit berhenti.

Suasana hening dalam beberapa kali tarikan nafas.

Entah bagaimana para penyerang terlihat terpengaruh dengan seruan sang punggawa, pemimpin pasukan orang-orang asing itu.

“Siapa kalian sebenarnya? Apa tujuan kalian datang ke tempat ini?” terdengar seruan dari para penyerang.

Lihat selengkapnya