Bertahun-tahun yang lalu, ketika rombongan Dama’ Bulan pertama kali terpencar, dimana semensta sedang berusaha untuk merajut garis dan larik-larik takdir, sebuah kampung masyarakat asli Hujung Tanah yang kelak dikenal sebagai masyarakat Mualang, menemukan sesosok tubuh tak bernyawa tergeletak di tepian sungai di dekat wilayah pemukiman mereka, tersangkut pukat ikan warga.
Sosok yang sudah dianggap mati oleh warga ini memiliki wajah dan tubuh yang tak begitu berbeda dengan mereka, meski busana dan kain yang melingkar di bagian bawah tubuhnya tidak serupa dengan kebiasaan. Goresan luka di wajah dan jasad laki-laki tersebut seperti menggambarkan bahwa sewaktu hidup ia pernah melewati berbagai pertempuran. Mungkin sekali ia adalah seorang pejuang, petarung sekurang-kurangnya, begitu pemikiran mereka yang menemukannya.
Kebiasaan mengayau, berperang antar suku antar kampung, membawa pulang kepala lawan sebagai lambang kejayaan, membuat warga Mualang tak heran melihat sosok mayat terdampar di dekat kampung mereka.
“Kalau tidak terbunuh oleh musuh atau binatang buas, barangkali laki-laki ini sedang sial saja karena alam yang memutuskan untuk mencabut nyawanya,” ujar salah seorang pemuda.
Bagaimanapun, warga menggotong tubuh tak bernyawa itu ke pemukiman. Macan Uwi’, sang ketua suku sekaligus panglima perang laskar Mualang memutuskan untuk membakar jasad tersebut.
“Kita tidak perlu tahu siapa orang ini gerangan meskipun busana yang ia kenakan tidak akrab bagi kita. Mungkin ia orang asing, mungkin pula orang dengan pangkat tertentu di kampungnya,” ujar sang pemimpin.
Ia sudah mempertimbangkan segala kemungkinan, termasuk kemungkinan buruk bahwa adanya sosok mayat di dekat pemukiman mereka menandakan adanya warga asing pula yang mampu mengancam keberlangsungkan kehidupan mereka. Telah ratusan tahun dan puluhan keturunan suku-suku di Hujung Tanah saling serang, saling bunuh, saling merampas sumber daya dan saling menghinakan satu sama lainnya. Kehidupan semacam ini membuat mereka juga awas dan kerap berpindah tempat. Macan Uwi’ melihat kehadiran jasad orang tak dikenal ini sebagai bentuk bahasa semesta untuk memperingatkan dirinya atas kemungkinan musibah dan ancaman yang segera datang melanda.
“Lekas lucuti busananya dahulu, kemudian bakar jasad itu untuk menghindarkan kampung kita dari bencana, penyakit dan malapetaka,” ujarnya lagi.
Para pemuda melaksanakan perintah Macan Uwi’, melepaskan pakaian dan kain yang menutupi tubuh jasad tersebut.
“Macan Uwi’, kami menemukan ini,” ujar seorang pemuda sembari menyerahkan sesuatu kepada Macan Uwi’. Benda itu terselip di pinggang dan tersembunyi kain baju si jasad.
Macan Uwi’ menerima benda tersebut untuk kemudian menggeleng pelan, sedikit bingung sekaligus tertarik. Ia berpaling, kemudian berjalan mendekati tetua desa, sosok lain yang paling dihormati di kampung tersebut. Warga mengenalnya sebagai Kasekak Busong, sosok yang pertama-tama membawa rombongan warga Mualang menetap di wilayah ini bertahun-tahun yang lalu akibat hijrah dari wilayah mereka sebelumnya yang porak-poranda oleh serangan suku pengayau.
Kasekak Busong yang telah berumur, tetapi masih memiliki raut wajah tangkas dan pandangan mata yang tak kurang tajam, menatap benda kecil di tangannya.