Sudah lebih dari separuh kosakata Mualang, cara mengucapkan dan maknanya yang Manok Sabong ketahui dan pahami. Ia memang masih belajar, tetapi hanya dalam beberapa purnama saja, ia sudah bisa bercakap-cakap dengan baik kepada seluruh penduduk desa tanpa menimbulkan kesalahpahaman.
“Keris ini sahaya berikan kepada Tuan Kasekak Busong, sebagai tanda rasa hormat dan terima kasih sahaya,” ujar Manok Sabong kepada Kasekak Busong.
Sang tetua terkesiap. Ia tak menyangka dengan tindakan Sabung Mengulur tersebut. “Mengapa, Sabung? Bukankah engkau pernah menceritakan bahwa keris adalah satu bagian dengan jiwa si pemilik? Bukankah dengan melepaskan keris sama dengan melepaskan harga diri? Hampir serupa dengan pedang pendek yang kaum kami sebut sebagai dau ini. Beberapa suku yang menyebut dau sebagai mandau juga ini juga memiliki kekhususan di dalam kehidupan. Ia bukan hanya diperuntukkan sebagai senjata, melainkan juga lambang kejayaan, kekuasaan, kelelakian dan kenjantanan, serta lambang hidup itu sendiri. Itu sebabnya aku bertanya, apakah sungguh engkau melepaskan keris itu untukku?”
Manok Sabong mungkin masih meraba beberapa makna dari kata-kata yang diucapkan Kasekak Busong, tetapi secara utuh, sebagian besar kosakatanya ia sudah paham. Maka, ia kembali tersenyum. “Karena memang kampung ini sudah melekat di hidup sahaya. Memberikan keris pusaka milik sahaya adalah bentuk dari rasa percaya sekaligus pengikat jiwa raga, batin, maupun masa depan kehidupan saya di tempat ini.”
Kasekak Busong memeluk Manok Sabong dengan erat.
“Aku terima kerismu ini, Sabung. Engkau pun sudah ditahbiskan menjadi penduduk desa ini. Engkau adalah bagian dari kami,” ujar Kasekak Busong mengharu biru sembari memandang lekat-lekat keris berhulu tanduk rusa tersebut.
Malam itu, desa riuh oleh pesta. Gending ditabuh, obor dinyalakan terang-terang, dan makanan diedarkan. Dendeng pelanduk dan rusa, daging babi hutan bakar, berbagai macam ikan yang dimasak di dalam bambu, sampai tuak dan arak mengalir disajikan.
Mereka baru saja mendapatkan anggota keluarga baru di kampung itu. Sabung Mengulur, laki-laki yang bangkit dari kematian lalu bekerja giat di desa bagai kesurupan saja, begitu kata orang-orang kampung. Maka, pantas saja bila hal ini dirayakan sebagaimana selayaknya memestakan kelahiran atau juga gawai, pesta panen.
Manok Sabong menerima perayaan ini dengan sukacita. Ia menyantap makanan dengan lahap serta menenggak minuman dengan sama bersemangatnya. Itu sudah merupakan tatacara adat orang-orang Mualang. Bila ia menolak, malah ia bakal dianggap tidak memiliki rasa hormat kepada para penyelenggara.