Pernikahan antara Manok Sabong dan Pukat Mengawang dirayakan dengan meriah. Di beberapa suku asli pulau Hujung Tanah ini, ada syarat-syarat berat yang harus dilakukan oleh laki-laki yang telah dianggap dewasa untuk diperbolehkan menikah. Salah satunya adalah mengayau. Banyak suku yang menuntut agar laki-laki dewasa untuk pergi dari kampungnya untuk berburu kepala. Siapa saja yang ia temui di hutan, selama bukan berasal dari suku mereka, berhak diserang untuk dibunuh dan dibawa kepalanya ke kampung. Ini sebagai bukti bahwa sang laki-laki telah siap memiliki seorang istri. Kepala lawan adalah lambang dari kemampuan si calon suami menjaga keluarga dan kampung dari ancaman lawan.
Di sisi lain, kemungkinan laki-laki itu tewas juga besar karena lawan pun dituntut desa mereka untuk membawa pulang kepala laki-laki lain.
Manok Sabong, tiada keraguan bagi warga desa seberapa hebat dan terpercayanya laki-laki asing yang perlahan telah mulai berbahasa dengan lidah mereka tersebut.
Manok Sabong tidak hanya menjadi sosok laki-laki tak dikenal yang resmi diangkat sebagai bagian dari desa, ia dihormati pula. Kemampuannya dalam olah kanuragan memberikan sumbangsih yang besar bagi keamanan kampung dan keberlanjutan hidup mereka.
Bertahun-tahun Manok Sabong hidup bersama warga Mualang. Ia telah menjadi satu. Bahasa, budaya dan caranya melihat kehidupan telah bersatu dengan mereka. Bukan melupakan tujuan hidupnya sewaktu bersama rombongan Dama’ Bulan, tetapi ia berdoa kepada para dewata agar kelak bila memang takdirnya bertaut dengan Dama’ Bulan, mereka akan kembali dipertemuan, apalagi kini ia telah membangun kehidupan berumahtangga yang semula tak dipikirkan akan terjadi. Berturut-turut, bahkan sampai uban di rambutnya sudah hampir menutupi kepala, ia telah memiliki putra dan putri yang bakal meneruskan darahnya. Tujuh orang jumlahnya. Si sulung bernama Puyang Gana, seorang pejuang Mualang yang sama gesit dan sakti dengan sang ayah. Kemudian berturut-turut Belang Pinggang, Puyang Belawan, Belang Patung, Belang Bau, Bui Nasi dan yang paling bungsu bernama Putong Kempat, yang kini juga sudah beranjak gadis.
Begitu cepat rasa-rasanya kehidupan ini dijalaninya. Manok Sabong bersyukur bahwa jalur hidup yang sudah ia ambil telah digariskan oleh langit.
Namun, saat itu pula Manok Sabong merasa menjadi manusia yang paling pandir dan tinggi hati. Dosanya bukan karena melupakan Dama’ Bulan dan tujuan utama mereka, melainkan karena telah terlalu merasa kuat dan berkuasa. Merasakan bahwa kebahagiaan sejati telah tercapai sehingga tak lagi awas serta mawas diri.
Sudah dua puluh tahun lebih semenjak serangan pertama lawan dari arah timur, dan semenjak ia menikah serta memiliki anak pertama sampai ketujuh, serangan lawan kembali datang, hadir di hadapannya. Kegagalan di masa lalu rupa-rupanya adalah luka yang tak bisa sembuh, harga diri dan kejayaan hanya bisa dicapai dengan darah. Ini adalah bagaimana cara masyarakat Mualang menghadapi kenyataan dan hidup.
Puluhan pasukan, laki-laki muda yang kuat serta mereka yang telah makan asam garam pengayauan, dipimpin oleh Macan Uwi’, didampingi oleh Manok Sabong, bersima panglima perang lainnya, bersiap menuju ke arah timur.
“Sudah kembali musimnya untuk mereka mencari kejayaan kampung dengan berburu kepala. Satu-satunya kesalahan adalah dendam kesumat mereka terhadap desa kita, Sabung. Mereka salah menjadikan dendam sebagai bentuk semangat sehingga otak mereka pun kosong, tidak memedulikan kenyataan bahwa mereka telah kalah dua puluh tahun yang lalu. Kini, mereka dengan bodohnya ingin kembali menawarkan nyawa tepat di gerbang desa!” ujar Macan Uwi’ dengan berkobar-kobar.
Sejatinya, usia Manok Sabong sedikit lebih tua dibanding dirinya. Namun, setelah lebih dari dua puluh tahun bersama, keduanya hampir terlihat sebaya. Bedanya, memang Manok Sabung telah mengumpulkan lebih banyak uban, sedangkan Macan Uwi’ masih mempertahankan mutu kemudaannya.