Jarum-jarum sumpit berdesiran serangkai dengan angin yang bertiup ke arah laskar Mualang. Macan Uwi’ beserta pasukannya menahan laju serangan mereka. Tubuh-tubuh itu merunduk-runduk di balik perisai kayu yang besar, kokoh dan berat tersebut. Jarum-jarum beracun menancap di permukaan perisai.
Lapisan pasukan Mualang kedua, di belakang laskar pertama yang menutupi diri dengan perisai, melompat bagai kumpulan bangkui, lincah dan cekatan lagi cepat, menuruni bukit ke arah musuh, siap menggulung mereka.
Benturan tak dapat dihindari lagi. Tameng kayu dengan tameng kayu. Pasukan lawan tersentak ke belakang saking kuatnya benturan yang mereka terima, bagaimanapun laskar Mualang menyerang dari atas, laksana petir menyambar bumi.
Laskar Mualang tak menyia-nyiakan lagi kesempatan ini. Musuh sudah dengan lancang dan terang-terangan menantang mereka dari arah timur, tepat di pelataran pintu masuk desa. Mereka menawarkan nyawa dengan pekik perang dan semangat pengayauan mereka tersebut.
Lawan sendiri sepertinya sudah memperkirakan gerak laju laskar Mualang pimpinan Macan Uwi’ tersebut. Mereka juga sepertinya telah belajar dari serangan terakhir kurang lebih duapuluh tahun yang lalu tersebut. Tidak semua pasukan berhadapan langsung degan para penyerang. Yang semula menulupi, kini undur diri dengan cepat. Mereka berlari mundur dan sementara menghilang di balik barisan pepohonan dan susunan bebatuan besar.
Pasukan yang bertumbuk saling adu dorong tameng. Yang kuat akan berhasil mendepak musuh, kemudian memiliki ruang untuk menusukkan tombak atau menetakkan dau mereka. Maka, kulit tersayat, daging tertembus, teriakan mengangkasa. Yang lebih perkasa lagi akan berhasil mendorong musuh sampai jatuh terlentang dan dengan mudah pula menusukkan tombaknya cepat, berkali-kali, hingga musuh tewas berkalang tanah.
Macan Uwi’ mencelat tinggi, terlalu tinggi bahkan, seperti sedang terbang saja. Dau-nya ditebaskan mendatar, dengan begitu ringan dan secepat kilat. Satu kepala lepas dari tubuhnya. Macan Uwi’ mendarat dengan terlebih dahulu menyepak tameng lawan keras.
Manok Sabong menerobos tameng-tameng pertahanan lawan dengan menyilangkan tombak di depannya, mendorong kuat dengan sentakan demi sentakan. Benteng lawan menjadi hancur. Pergelangan tangan Manok Sabong yang luwes – terutama setelah mempelajari jurus-jurus laskar Mualang – memainkan dau dengan tangan kirinya, menyasar musuh seperti seekor ular sendok mematuk mangsanya.
Nyaru Menteng, memperbesar tubuhnya, melingkupi seluruh hutan, terutama di balik bukit tempat pertempuran terjadi. Tubuh dan wajahnya memerah darah. Sepasang matanya membulat besar oleh nafsu, sedangkan gigi taringnya memanjang, seakan siap untuk menyantap makanan utama hari ini. Rambutnya yang panjang, gimbal, menyaru dengan akar-akar tanaman, menjalar ke segala arah.
Sang dewa perang menginginkan pertumpahan darah yang lebih menarik.
Sang ketua adat dan panglima perang desa lawan sudah memohon kepadanya untuk menganugerahkan kesaktian kepada para pejuang yang akan turun berperang. Mereka berjanji akan memberikan penampilan terbaik mereka, darah yang berkelimpahan, yang dapat mengenyangkan lapar dan memuaskan dahaganya.