Manok Sabong merapatkan barisan. Gaya bertarung laskar Mualang yang membabibuta seperti sewaktu dahulu pertama kali ia ikut urun perang, sudah perlahan digantikan dengan pelatihan menahun. Keseragaman, keteraturan dan perencanaan pola peperangan yang lebih tertara telah dikuasai oleh para laskar Mualang. Manok Sabong, dengan kemampuannya selama ini, mengalami pertempuran di berbagai tanah, telah membantu Macan Uwi’ untuk membantu melatih laskar-laskar muda Mualang untuk menghadapi perang besar ini.
Perintah Manok Sabong tegas dan jelas, barisan demi barisan disiagakan, bukannya bercampur aduk, mereka menyerang dengan lebih terukur.
Bayangan Singa Pati Bangi yang berdiri di sampingnya, dengan keris terhunus dan tergenggam di tangan, tersenyum penuh semangat, membuat Manok Sabong merayakan kembali masa lalunya.
Suara Manok Sabong menggelegar, lurus dan tegas, memotong udara serta pekik perang para pejuang. Laskar Mualang langsung melakukan apa yang diperintahkan. Mereka menata barisan, tidak berdiri sendiri-sendiri.
Berpasangan dua-dua, menyerang lawan dengan gerak yang selaras. Satu menyerang, satunya lagi maju dan menahan balasan lawan dengan tameng. Kembali begitu bergantian. Tujuan mereka sekarang tidak segamblang pengayauan yang biasanya, yaitu memutus leher dan menetak kepala. Tiada pandang bulu, tiada ragu, semua anggota laskar Mualang menyasar bagian bawah tubuh musuh.
Pekik semangat penuh dengan nafsu membunuh berubah menjadi teriakan rasa sakit yang tak teredam, meledak begitu saja menembus atap hutan yang dinaungi ranting dan dedaunan pepohonan.
Manok Sabong bergerak begitu lincah, lihai nan cekatan. Sembari menunduk-nunduk, tebasannya ajek ke tubuh bagian bawah musuh. Tusukannya juga menyusul ke arah perut, meyobek kulit dan daging lawan.
Setelah musuh tersentak mundur dan hilang pertahanan, atau jatuh terduduk serta gugur serangan, Manok Sabong memutuskan menebas leher lawan dalam sekali ayun dengan kecepatan yang luar biasa untuk menuntaskan perlawanan musuh.
Kepala demi kepala menggelinding. Mereka yang memiliki ilmu kebal pun sudah terbuka rahasianya. Ketika darah terciprat dari tubuh mereka, leher dan kepala kehilangan ilmu pertahanan kekebalan. Salah mereka sendiri meminta kekebalan kepada Nyaru Menteng hanya berpusat pada leher dan kepala.
“Kau cerdas, Sabung. Sungguh pintar!” seru Macan Uwi’. Tawanya membahana. Puluhan lawan dengan gampang mereka sapu, membubarkan musuh dengan kematian, membuyarkan kumpulan pasukan seteru dengan rasa takut.
Macan Uwi’ kagum dengan rencana dan persiapan laskar musuh tersebut. Sudah dua puluh tahun lawan memendam niat untuk kembali menyerang kampungnya. Kini mereka membawa serta kekuatan baru yang lebih segar dan lebih kuat. Kekebalan pada leher dan kepala, meminta kepada kekuatan adikodrati, memohon agar kemenangan kini berpihak kepada mereka.