Gema teriakan rasa takut, rasa sakit, dan ratapan malapetaka menguar dan memenuhi atap hutan. Aroma kematian menguap di atas tanah kampung. Darah berceceran, bercipratan ke segala arah, melukis pepohonan dan mewarnai rumah panyai dan bangunan-bangunan lainnya. Para perempuan dan anak-anak menjerit susul-menyusul ketika ombak pejuang lawan menggulung kampung. Pekik laskar lawan melibas habis pertahanan para laskar Mualang yang tidak siap dan hanya berjumlah beberapa kepala itu saja.
Sejenak saja kepala menggelinding lepas dari tubuh mereka. Tombak-tombak menembus dada, ujung lancip jarum-jarum sumpit beracun melesak mengoyak kulit dan menyobek daging.
Para perempuan yang tidak sempat membela diri, lemah, dan tua, terjerembab ke tanah dengan luka di punggung mereka yang menganga. Tidak terkecuali anak-anak yang menjadi sasaran empuk bilah tajam dau pasukan lawan yang puluhan jumlahnya, berbondong-bondong, beringas sekaligus cekatan menggunakan senjata.
Beberapa laskar yang masih kuat cederung melindungi para perempuan dan anak-anak untuk melarikan diri, menyelip di jajaran pepohonan di luar kampung mereka sembari menyaksikan pembantaian serta api yang membumbung tinggi, menjilati angkasa.
Tangisan perih mengiringi pelarian mereka, tak menyangka bahwa kemenangan di arah selatan harus dibalas dengan kehancuran dari utara.
Tidak ada Macan Uwi’, tidak ada Manok Sabong, tidak ada laskar Mualang yang cukup cekatan dan sakti untuk melawan musuh yang datang tiba-tiba dengan membawa dendam kesumat tahunan itu.
Kampung porak poranda. Asap mengepul tinggi, merambat naik ke langit, meninggalkan bara dan arang di bawahnya. Mayat-mayat beragam ukuran dan bentuk bergelimpangan dengan keadaan yang tidak wajar serta tak pantas bagi layaknya manusia yang pernah hidup dengan agung.
Kumpulan ternak babi menguik. Banyak yang mati tercacah karena baik karena tak sengaja menjadi sasaran amukan pasukan lawan, atau terpanggang api, banyak pula yang diambil paksa sebagai harta rampasan. Tidak terkecuali ayam dan binatang ternak lainnya. Ini menjadikan suasana di kampung Mualang ini sangat mengerikan. Tubuh-tubuh manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Dicincang, diseret, dipotong, dibakar, atau dilempar begitu saja bagai seonggok daging tak berguna.
Sang Nyaru Menteng, melongok dari balik tirai dunia gaib. Sepasang matanya membara, membulat memerah darah. Seringainya begitu kejam, licik, tetapi bahagia. Darah mengalir bagai sungai di atas tanah. Rumah panyai ambruk satu demi satu karena dilalap api yang menjadi jubah, menutupi kampung.
Lapar dan dahaga sang Nyaru Menteng yang sepertinya tak pernah bisa terpuaskan, kali ini kembali tertantang.
Tubuh gaib raksasanya itu membungkuk. Lidahnya keluar, memanjang, melewati taring-taring setajam pedang, kemudian menempel di tanah. Dengan rakus, Nyaru Menteng menenggak darah yang terciprat ke segala arah. Darah para rakyat, darah para warga kampung, mereka yang lemah dan cenderung belum berdosa itu terasa lezat dan sempurna, lebih gurih dibanding darah para pejuang yang penuh dengan amarah, benci, dan dendam itu.
Barisan terdepan, para pemuda pejuang, telah runtuh, lulu, patah arang dalam artian sebenar-benarnya. Tubuh-tubuh mereka telah tumbang terbebas dari nyawa yang menahan mereka untuk berada di bumi. Para tetua yang masih sanggup bertahan memilih untuk membawa pergi warga yang tersisa dan masih bisa diselamatkan.