Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #72

Jiwanya Telah Bersatu Bersama Alam

Puyang Gana merasakan tubuhnya terkoyak-koyak sedemikian rupa. Otot-otot liat yang telah ia latih bersama sang ayah, Manok Sabong, yang sangat ia banggakan itu kini terburai sudah.

“Paling tidak, aku sudah buktikan bahwa hasil latihanku ini berguna. Ayah pasti bangga padaku,” ujar Puyang Gana di dalam hati.

Sakit yang semula keras membetot kesadarannya, kini hampir tak terasa sama sekali. Sudah cukup lama remaja itu mampu melindungi warga kampung keluar dari wilayah yang diserang itu dengan segenap tenaga. Tentara lawan memang berhasil membungihanguskan kampungnya dan melukisnya dengan merah darah, akan tetapi jiwa dan semangat orang-orang Mualang tidak akan pudar sama sekali. Puyang Gana berhasil menahan mereka, memberikan kesempatan bagi sisa warga untuk pergi menghindar dan diamankan.

Cukup, pikirnya.

Tubuh mudanya itu roboh pula akhirnya. Puncak sengkuap hutan yang menaungi kempung dengan ranting-ranting dan dedaunan lebat membuat Puyang Gana merasa aman dan nyaman ketika sedang berbaring. Nafasnya tinggal satu-satu, tetapi ia merasa menyatu dengan dunia.

Seharusnya ia mendapatkan rajah pertamanya bila selamat dari pertarungan ini. Ia berhasil membunuh dua orang prajurit lawan, dan memenggal kepala salah satu diantaranya, sebelum luka menyobek habis kulit dan dagingnya.

Ia berhasil, untuk tidak mati dikayau. Kepala masih melekat di badannya, walaupun nyawa sejenak lagi akan lepas dari raganya. Paling tidak, ketika ayahnya kembali bersama para laskar Mualang, ia masih terlihat utuh. Puyang Gana pun tahu, walaupun ia tidak sempat mendapatkan rajah pertama akibat mengayau seseorang, dan seberapa sedihnya sang ayah pun, Manok Sabong pasti bangga padanya. Adik-adiknya semua berhasil selamat dari kepungan musuh dan semoga dewa-dewa melindungi mereka.

Puyang Gana merasakan pandangannya pada sengkaup puncak hutan mengabur. Tak lama jiwanya akhirnya bersatu bersama alam.

Kampung Mualang yang diserang mendadak dari arah timur itu sungguh binasa. Kepulan asap hitam dan putih menyelubungi setiap jengkal tanah serta udara.

Rombongan Macan Uwi’ dan Manok Sabong yang datang dengan nafas memburu menyebar ke segala arah. Nafas mereka tercekat, sepasang mata mereka melebar, dan jiwa yang serasa tercerabut lepas melalui kepala mereka. Bagaimana tidak, mayat tergeletak di segala penjuru. Tubuh terluka tusuk atau sayatan, tanpa kepala, terpotong bagian-bagian tubuhnya, atau hangus terbakar. Laki-laki, perempuan, anak-anak, semua jenis manusia menjadi korban. Beberapa ternak pun tidak lepas dari sasaran kekejian peperangan.

“Mereka merampas sisa harta kita. Babi dan ternak, guci-guci berharga, sampai persenjataan, Tuan Macan Uwi’,” ujar salah satu laskar. Wajahnya begitu tegang meski berusaha melaporkan semuanya dengan tenang.

Lihat selengkapnya