Pindah secara mendadak, dari tempat yang sudah membuatmu nyaman jelas bukan hal mudah. Begitupun untuk Mika. Sudah 10 tahun berlalu, sejak Jakarta tak lagi menjadi tempatnya pulang. Baginya Jakarta hanyalah tempat di mana semua kenangannya dengan sang ayah menumpuk, dan ia tak menyukai itu.
Butuh waktu lama baginya pulih dari duka kehilangan sang ayah, kehilangan sosok yang paling berharga dalam satu kecelakaan tunggal. Maka ketika keadaan memaksanya untuk menganggap Jakarta kembali sebagai rumah. Ia tak begitu senang.
Mika menghela napas, menatap tak percaya selembar peta di tangan. Peta yang diberikan orang TU kemarin, ketika ia dan sang nenek melengkapi berkas pindah sekolah. Ia jadi penasaran, sebesar apa memangnya sekolah ini hingga ia dibekali peta untuk pergi ke kelasnya sendiri.
“Anak baru ya?”
Langkah Mika sontak berhenti, ketika seseorang menghadang jalannya. Di depannya berdiri seorang pemuda dengan almamater merah tua yang membalut seragam putih abunya. Pemuda itu tersenyum ramah, menunggu jawaban Mika yang jadi terdiam. “Halo?” ucapnya lagi, menyadarkan Mika dari lamunan.
“Ah iya, baru masuk hari ini.” Jelas sekali pemuda di hadapannya ini tau kalau ia anak baru, seragam lamanya jelas terlalu ‘berbeda’ dengan modelan seragam di sekolah ini. Mika saja menyadari tatapan penasaran beberapa murid ke arahnya.
“Oke, siapa nama dan kelas kamu?” tanya pemuda itu seraya mengeluarkan buku kecil dari dalam saku almamater. Mika menyebutkan nama dan kelasnya, masih dengan tanda tanya siapa pemuda di depannya ini dan mengapa menanyakan nama dan kelas.
Pemuda di hadapannya itu mengangguk, lantas mengeluarkan sebuah gulungan pita berwarna coklat dari saku almamater. Tindakan yang jelas menimbulkan pertanyaan di benak Mika. Apalagi ketika pemuda itu menyodorkan potongan pita itu kepadanya. “Karena kamu belum pakai seragam, jadi lebih baik tidak ikut upacara hari ini. Pakai pitanya di tangan ya, biar ketauan kamu salah satu yang diizinkan untuk tidak mengikuti upacara.”
“Oke, terima kasih.” Mika tersenyum canggung, seketika paham kalau pemuda di depannya ini pasti salah satu anggota OSIS atau tim disiplin. “Kalau begitu saya ke kelas,” pamit Mika menyadari bahwa koridor sudah semakin ramai oleh para murid yang bergegas menuju lapangan.
“Mika.” Langkah Mika terhenti ketika namanya mendadak di panggil, ia berbalik mendapati pemuda itu memberikan senyum ramah sekali lagi.
“Selamat datang di Jayatri.”
***
“Eh, anak baru?”
Untuk kesekian kalinya, Mika memberikan senyum canggung ketika teman sekelasnya memasuki kelas. Sebenarnya selama upacara berlangsung tadi, Mika sudah memikirkan bagaimana ia menghadapi teman-teman barunya nanti. Sayangnya, ia justru berakhir hanya memberi senyum bodoh ketika satu persatu murid memasuki kelas dan menyadari keberadaannya.
“Arlina Mika?”
Dari kerumunan itu, keluar seorang pemuda berkacamata yang menyebut namanya dengan alis sedikit terangkat. Anggukan dari Mika, langsung membuat senyum di wajah pemuda itu mengembang. “Jadi lo orangnya, gue Farhan ketua kelas. Selamat datang di Jayatri.”