“Mika-chan!”
Mika tertawa ketika wajah Rey, sahabatnya di Jepang muncul di layar ponsel. Pemuda itu nampak merengek, sebelum akhirnya tersingkir dari layar tergantikan wajah Aiko. Terdengar jelas perdebatan mereka berdua, mengabaikan panggilan video yang sedang mereka lakukan. Bahkan setelah ia di Jakarta, keduanya masih saja bertengkar.
“Bagaimana Jakarta? Masih sama seperti yang kamu ingat?” tanya Aiko, setelah memposisikan ponselnya dengan tepat sehingga menampilkan wajah ia dan Rey. “Tanpa kamu, Rey benar-benar menyebalkan.”
“Memangnya apalagi yang dia lakukan Ai-chan?” Mika dapat melihat wajah cemberut Rey yang kini berpura-pura sibuk memainkan ponselnya. Jelas sekali merajuk.
“Ia menggoda anak kelas satu terus menerus. Aku sampai lelah, menjawab pertanyaan dari penggemarnya.” Aiko balas menatap tajam Rey ketika menyadari pemuda itu menirukan ekspresinya dengan gaya menyebalkan. “Merepotkan saja.”
“Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti bagaimana kalian bisa berkencan.” Mika menggelengkan kepala tak habis pikir. Rey dan Aiko, kedua temannya sejak ia pindah ke Jepang. Aiko yang notabene tetangganya dan Rey sebagai teman satu negaranya jelas paling banyak membantu Mika menyesuaikan diri. Melihat mereka lagi meski melalui panggilan video, jelas membuatnya senang.
“Oh iya, Mika. Kamu tau, kelas kita kedatangan anak baru juga. Dari Indonesia,” ucap Rey entah kenapa terdengar begitu antusias. Dari nada bicaranya yang cukup kencang, nampaknya anak baru yang dimaksud Rey tak begitu memahami bahasa Jepang sehingga pemuda itu begitu leluasa berbicara. “Sayangnya dia terlalu pendiam, ini sudah hari ketiga dan dia tak berbicara dengan siapapun.”
“Mungkin saja dia tak tau bagaimana cara memperkenalkan diri,” balas Mika tak mau ambil pusing. “Coba saja kamu dekati Rey, gunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengannya biar ia merasa nyaman.”
“SUDAH!” Rey berseru pasti, lantas mendekatkan wajah ke layar seolah berbisik-bisik. “Tapi, dia malah menatapku ketakutan.”
“Siapa yang tidak ketakutan, kalau kamu langsung menanyakan apa ia punya pacar atau tidak.” Sautan Aiko membuat Rey memasang ekspresi masam, memberi lirikan tajam kepada Aiko yang tak mau kalah membalasnya dengan ekspresi serupa.
Suara bel tanda pergantian pelajaran mendadak berbunyi, membuat Mika mau tak mau berpamitan dengan kedua sahabatnya karena jam kosongnya sudah usai. Berjanji ketika ia pulang, akan menghubungi lagi. Ia melirik ke meja sebelahnya mendapati Ratna yang baru saja terbangun dari tidurnya. Entahlah dua hari ini, Ratna seperti kurang tidur dan tak begitu bersemangat. Meski ia tetap tersenyum setiap berbicara dengan Ratna.
“Olahraga ya? Ayo ganti baju,” ajak Ratna berjalan lebih dulu keluar dari kelas, mengikuti teman sekelas mereka yang mulai menghampiri loker di luar kelas. Mika menurut, memasukkan ponselnya ke dalam saku lantas berdiri.
“Lo kayaknya kurang tidur ya belakangan ini? Marathon drama ?” tanya Mika seraya menggesekkan kartu pelajarnya yang berfungsi sebagai kunci loker dan akses masuk ke fasilitas tertentu di SMA Jayatri. Ia mengeluarkan baju olahraga perpaduan warna merah tua dan hitam dari dalam loker.
“Nggak, gue sibuk menyelesaikan permainan biar karakter gue bebas” jawab Ratna tenang. Mereka lantas berjalan beriringan menuju ruang ganti di ujung koridor.
Dari lantai dua ini, Mika bisa melihat kelas-kelas lain yang memiliki kelas olahraga yang sama dengannya. Lapangan utama yang difungsikan sebagai tempat upacara, dikelilingi oleh jalur lapangan untuk olahraga lari. Ia bisa melihat beberapa murid, yang sepertinya sedang berlatih keras di lapangan lari.
“Pantas aja sekolah ini banyak yang berprestasi ya? Semuanya berjuang keras untuk menang,” ucap Mika masih takjub sendiri ketika menyadari setiap murid yang masuk melalui jalur non-akademik menunjukkan kemampuan besar mereka meski sekedar latihan. Seolah-olah mereka berada di kompetisi sebenarnya.
Ratna yang ikut berhenti, karena Mika yang terpaku melihat latihan para atlet lari sekolah mereka dibuat terdiam. “Mungkin mereka benar-benar berjuang agar tidak ‘mati’.”
Ucapan Ratna sukses membuat Mika menoleh, tak mengerti akan maksud perkataan Ratna yang entah kenapa auranya sedikit menyeramkan hari ini. Menyadari bahwa Mika melempar tatapan bingung kepadanya, Ratna lantas menoleh dan memberi senyum lebar. “Maksud gue, mereka berjuang habis-habisan seolah-olah ini pertandingan terakhir mereka.”
“Lagipula mereka nggak ada pilihan selain menang kan?”
“Ratna.”
Belum sempat Mika menyuarakan keanehan yang ia rasakan. Seseorang mendadak memanggil Ratna. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, seorang perempuan dengan napas terengah berdiri. Tangan kanannya menggengam ponsel begitu erat. Ia ingin mengucapkan sesuatu, namun tertahan akan keberadaan Mika yang kini mengerutkan dahi kebingungan.