“Lo nggak papa? Pucat gitu?”
Mika bersumpah, ia tak pernah bersikap sinis ataupun kasar kepada siapapun yang bersikap baik padanya. Namun, melihat Farhan menghampiri mejanya dengan senyum biasanya ia tak tahan untuk tidak melayangkan tatapan tajam ke pemuda itu. Senyum di wajah pemuda itu kini terasa begitu misterius sekaligus memuakkan untuk dilihat.
“Lo beruntung Pak Jaya berbaik hati. Kalau nggak, mungkin lo udah dipanggil ke ruang kesiswaan dan dihukum sekarang,” ucap Farhan tenang, masih setia berdiri di samping meja Mika. Meski gadis itu jelas sekali mengabaikannya. Memilih menjejalkan semua barang-barangnya di atas meja ke dalam tas. Bergegas ingin pulang.
“Mana yang lebih baik di sekolah ini?” tanya Mika menatap Farhan lekat-lekat. “Dipanggil ke ruang kesiswaan atau berakhir seperti apa yang gue lihat tadi?”
“Tidak keduanya,” jawab Farhan cepat masih dengan sikap tenang dan senyumnya. Tak terlihat terintimidasi sedikitpun akan tatapan penuh amarah dan curiga yang dilayangkan Mika secara jelas kepadanya. “Asalkan lo mengikuti aturan di sekolah ini dengan benar.”
“Omong kosong.”
Mika tak tahan lagi, ia bergegas keluar dari kelas diiringi tatapan aneh dari teman sekelasnya. Keluar dari tempat yang membuatnya merasa semakin gila. Maka sebelum ia kehilangan kewarasan, Mika melangkahkan kaki tergesa-gesa menuju gerbang utama. Menuju mobil yang siap menjemputnya pulang dari neraka bernama SMA Jayatri.
***
Sekolah termegah. Tempat para murid terbaik. Sekolah para juara.
Semua artikel di internet yang berkaitan dengan SMA Jayatri hanya berputar dalam 3 hal tersebut. Tak ada satupun rumor jelek yang ada. Termasuk kejadian Ratna. Dari sisi manapun Mika melihatnya, kejadian tadi termasuk pembunuhan. Jelas sebuah bahan berita yang cukup menggiurkan bagi para jurnalis, apabila tau sebuah kejadian kriminal muncul dalam sekolah kebanggaan seluruh negeri.
Selama apapun Mika menunggu, segesit apapun ia mencari, sebanyak apapun artikel yang ia baca. 5 hari ia menunggu akan ditemukannya satu artikel ataupun siaran berita tentang Ratna. Sayangnya nihil. Satu-satunya artikel baru yang muncul mengenai SMA Jayatri, ialah artikel tentang prestasi baru seorang murid dalam kompetisi musik klasik. Kalau tak salah namanya-
Tunggu sebentar.
Mika menyipitkan matanya, mencoba mengenali sosok pemuda yang berdiri terdiam di depan deretan loker milik kelasnya. Lantai tempat kelasnya berada ini, belum dipenuhi oleh para murid yang kebanyakan mampir terlebih dahulu ke ruang ekskul ataupun perpustakaan untuk sekedar meminjam satu dua buku. Tepat 5 menit sebelum bel masuklah, semua murid bergegas menuju kelas mereka masing-masing.
Pemuda itu menempelkan sebuah bunga kering, yang sepertinya bunga anyelir. Bunga itu ditempelkan tepat di sebuah loker yang Mika kenali sebagai milik Ratna. Ekspresinya memang datar, namun ada duka yang terlihat jelas dalam sorot matanya. Lagipula bunga yang ditempelnya juga berarti duka cita. Entah Mika harus bersyukur atau tidak, berkat Aiko yang kerap kali menceritakan makna bunga kepadanya. Ia cukup tau banyak tentang makna tiap bunga.
“Ah, maaf menganggu,” ucap pemuda itu ketika menyadari Mika berdiri menunggu di dekatnya. Mungkin merasa ia menganggu Mika karena berdiri terlalu lama di depan deretan loker. Di lengan kemejanya, ia bisa melihat sebuah tanda yang menunjukkan pemuda itu adalah seorang kakak kelas.
Tanpa banyak kata, pemuda itu menarik senyum ramah lantas mengangguk kecil sebelum berjalan pergi. Beberapa kali ia membalas sapaan beberapa murid yang berpapasan jalan dengannya. Dari sapaan para murid itu, Mika bisa menyimpulkan bahwa ialah Ketua OSIS sekolahnya.
Orang yang sama dengan yang menunjukkannya ruang kelas di hari pertama. Sekaligus orang yang fotonya ia lihat di artikel terbaru tentang SMA Jayatri tadi malam. Sang pemenang kompetisi musik klasik.
Gio Revan Wijaya.
***
“Teman-teman berhubung Pak Eka tak bisa masuk karena membimbing perlombaan beberapa murid sekolah kita. Jadi mata pelajarannya kosong ya, yang ada dispen buat latihan boleh langsung keluar setelah kasih surat izinnya ke Aya.”
Seruan penuh ketidak terimaan terdengar riuh mengisi ruangan, tepat setelah Farhan memberikan kabar yang ia bawa dari ruang guru. Seharusnya selama 2 jam kedepan menjelang istirahat makan siang, kelas mereka dibuat pusing akan rumus-rumus Fisika. Awalnya Mika pikir seruan penuh tidak terima itu, karena teman-teman sekelasnya tidak terima jam pelajarannya menjadi kosong. Sayangnya ia salah.
Mika bisa mendengar beberapa murid yang mendapat izin dispensasi –tidak mengikuti pelajaran- mengeluh kepada Aya seraya menyerahkan surat mereka. Menyayangkan mengapa izin dispensasi mereka bertepatan ketika jam kosong. Sia-sia saja kalau begitu.
“Mau kemana?” Mika spontan menghentikan langkahnya karena Farhan bertanya. Pemuda itu meraih kardus kosong dibawah mejanya. Sebuah kardus yang cukup menarik atensi Mika ketika pemuda itu membawanya ke dalam kelas. “Memang jam kosong, tapi bukan berarti boleh ke kantin ya.”