Hukuman Murid Ke - 38

Athiyah Nazifah
Chapter #5

Empat: Solved

Ada yang aneh.

Rey yakin sekali ada yang aneh dari anak baru yang datang dari tanah airnya itu. Sudah hampir seminggu dia ada di kelas ini, namun tak menunjukkan niatan sedikitpun untuk berbaur dengan yang lain. Sebenarnya bisa saja Rey mengira anak baru itu tak memahami bahasa Jepang, namun mengingat sekolahnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengajar dan bagaimana anak itu berucap fasih sekali di pelajaran kanji. Membuat keanehan itu semakin jelas.

“Tatapan kamu terlihat sekali sedang mengamatinya.”

Pandangan Rey teralih, mendapati Aiko yang sudah memutar kursinya ke belakang. Menghadap ke arahnya. Ia bahkan tak sadar bel istirahat sudah berbunyi dan guru sejarahnya sudah keluar dari ruangan. “Hey, if you curious just ask. Don’t see her like that,”tegur Aiko kembali seraya membereskan buku-buku di atas meja.

“Ada yang aneh dengannya Ai-chan,”  bisik Rey melirik sang anak baru melalui sudut matanya. Suara berisik dari teman sekelasnya yang heboh ketika petugas piket hari ini membawa masuk jatah makan siang mereka, membuat Rey harus memajukan diri agar suaranya terdengar oleh Aiko.

“Memangnya apa yang aneh? Kalau tentang dia yang belum bergaul, mungkin saja orangnya pemalu,” balas Aiko berucap terima kasih ketika salah satu temannya meletakkan dua kotak makan siang ke atas meja Rey. Biasanya kekasihnya akan begitu antusias membuka kotak makan siang, apalagi menu kali ini adalah kare. Favorit Rey.

“Bukan itu maksudku, tapi-“ Rey tiba-tiba berhenti berucap, entah apa yang dilihatnya namun hal itu cukup membuat Rey jadi berdeham pelan. Lantas merubah ekspresi seriusnya menjadi jenaka, dan mulai membuka kotak makan siang. “Kamu benar sepertinya aku salah sangka.”

Perubahan ekspresi dan nada bicara Rey, sukses membuat Aiko mengernyitkan dahi tak paham. Ia mengerjapkan mata, lantas melirik sekilas ke arah sang anak baru yang hanya duduk termenung di kursinya.

Tanpa ada satupun kotak makan siang di atas mejanya.

***

Kode sialan.”

Mata Mika menatap tajam ponselnya yang menampilkan sebaris kode yang dikatakan sebagai soal penilaian peringkatnya. Sebuah kode yang berhasil membuat Mika tak tidur sama sekali, dan membuat jantungnya berdegup gila-gilaan. Jika perhitungannya benar, maka hari ini adalah hari terakhir untuk dirinya bisa terbebas dari hukuman aneh itu. Ia tak tau jenis hukuman apa yang akan menanti, namun lebih baik bukan jika dirinya memikirkan kemungkinan terburuk?

Tatapan Mika teralih ke gedung 3 tingkat di depannya. Gedung perpustakaan dan laboratorium yang menjadi tempat Ratna menjemput ajalnya sendiri. Meski perkenalan mereka cukup singkat, ia yakin sekali kalau apa yang dilihatnya bukanlah sebuah tindakan bunuh diri. Pasti ada seseorang yang mendorong gadis itu jatuh. Masalahnya jika memang itu bukan bunuh diri, kenapa Ratna tak berteriak meminta tolong? Siapapun yang dipaksa untuk menjemput ajalnya lebih cepat, pasti memiliki keinginan untuk menolak. Memiliki keinginan kuat untuk mempertahankan kehidupan mereka.

“Selamat, lo jadi orang pertama yang memecahkan rekor.”

Suara itu memecah lamunan Mika, ia berbalik menemukan sosok salah satu teman sekelasnya yang memang tak pernah bersikap ramah padanya sejak awal. Selalu menjaga jarak dan diam-diam melemparkan tatapan meremehkan. Seolah tau bahwa Mika takkan bertahan dalam sistem penilaian SMA Jayatri yang cukup ekstrem.

“Dari sekian banyak orang, lo orang pertama yang mengajak gue berbicara hari ini Tasya.”

Ada beberapa alasan mengapa hari ini Mika lebih gugup dibanding hari ketika ia pertama kali tau sekolah seperti apa SMA Jayatri ini. Hari ini, satu sekolah bersikap seolah ia tak kasat mata. Teman sekelasnya tak ada yang menyapa ataupun mengajaknya mengobrol. Seolah murid baru yang mereka sambut penuh kegembiraan sebelumnya, tak pernah ada.

Sudut bibir Tasya terangkat, membentuk senyuman yang teramat sinis. Jelas sekali menganggap Mika terlalu bodoh akan posisinya saat ini sehingga masih bisa bersikap begitu santai. Sepertinya gadis itu ingin mengeluarkan kata penuh ejekan lebih banyak lagi, namun sepertinya ada suatu hal yang membuatnya menahan diri. “Lo orang pertama yang tereliminasi hanya dalam 2 minggu. Menyedihkan sekali.”

“Tidak perlu mengasihani, gue tidak semudah itu untuk tereliminasi kok.” Mika tersenyum tipis, sebelum kembali berkutat pada kode yang berusaha dipecahkannya. Tak menyadari Tasya berusaha menahan tawa meledeknya sebab ucapan Mika yang terlalu percaya diri. Gadis itu berdiri, menyandangkan tasnya lantas mendudukkan diri di atas meja Mika.

“Sejak awal lo nggak punya awalan untuk meloncat tinggi seperti kami,” tangan Tasya menunjuk ke arah daftar peringkat di bagian belakang kelas. Sebuah peringkat yang dibuat menggunakan sebuah kain flanel, dengan nama setiap murid. Di bagian peringkat terbawah ada sebuah nama yang tersemat dengan cara berbeda. Tidak menggunakan pin nama seperti yang lain, hanya sebuah label kertas yang ditulisi dengan spidol papan tulis. Milik Mika sendiri. “Jadi menyerah saja sekarang, dan pergi dari sekolah ini dengan tenang.”

Lihat selengkapnya