“Oke, jadi sekarang apa?”
Mika pasrah saja ketika Nitha menariknya untuk duduk lesehan di lantai ruang musik yang ternyata tak sekotor yang ia pikir. Kakak kelasnya itu tak lupa menutup rapat semua jendela dengan tirai, lantas mulai bersimpuh di dekat piano tua. Ia bisa melihat kalau kursi-kursi yang mereka gunakan tadi, ditarik ke sudut ruangan sampai semuanya duduk dalam posisi melingkar. Kia bahkan sudah mengeluarkan makanan ringan dari dalam tas. Benar-benar santai sekali, seolah melupakan fakta bahwa mereka seharusnya bergegas meninggalkan sekolah yang akan segera tutup.
Protesan yang ingin Mika suarakan terhenti, kala ia menyadari Nitha membuka suatu pengait di bagian bawah piano. Tak butuh waktu lama hingga bagian bawah piano itu terlepas, lantas ditariknya gadis itu menuju ke tengah lingkaran. Menunjukkan pada Mika apa yang tersimpan dalam piano itu.
Entah Mika harus merasa takjub atau merinding, ketika menyadari papan yang diletakkan dihadapannya saat ini ialah gudang informasi perihal SMA Jayatri. Sebuah informasi yang jelas disusun teramat rapi, mulai dari informasi yang bisa ia temui di internet hingga informasi yang tak pernah Mika temukan. Rahasia-rahasia yang tersembunyi dalam sekolah yang menjunjung tinggi nilai kebanggaan ini.
Ada potongan surat kabar, hasil tangkap layar sebuah akun sosial media, hingga beberapa foto. Tak lupa benang merah yang ditempel pada beberapa bagian, memberi tanda adanya hubungan diantara orang ataupun berita yang ada. Namun, yang paling menarik Mika ialah 6 foto yang tertempel di bagian sudut kiri atas papan. 6 potret murid SMA Jayatri, yang 3 diantaranya sangat ia kenal siapa mereka.
“SMA Jayatri memiliki sistem hukuman, namun disini kita juga punya hak-hak istimewa bagi para peraih 10 peringkat atas.” Entah sejak kapan Nitha sudah melepas almamaternya. Menyisakan kemeja putih dan rompi rajut hitamnya. Rambut sebahunya diatur sedemikian rupa agar tak menganggu dengan sebuah bandana abu-abu. Tak butuh waktu lama hingga gadis itu menatap Mika dengan senyum kecil. Seolah memberi tanda bahwa ia siap memulai sesi ‘mengajar’ tentang SMA Jayatri.
“Biar gue tebak, kalian semua pasti termasuk 10 peringkat itu kan?” potong Mika yang sukses membuat Nitha menjentikkan jari. Tak butuh waktu lama hingga gadis itu memberi acungan jempol, menandakan bahwa tebakkannya benar.
“Benar banget. Kia peringkat 10, gue peringkat 8, Gio peringkat 3, dan si bos besar kita Davin peringkat 1.” Nitha melirik ke arah Davin yang sedang menguap lebar. Hampir saja mendaratkan jitakan ke kepala sang adik kelas yang sayangnya sangat pintar berkelit. Membuat jitakan itu hanya mengenai udara kosong.
“Mendiang Kak Ratna dulu berada di peringkat 3 sebelum dijatuhi hukuman murid ke-39,” tambah Kia yang mendadak menarik sebuah foto di sudut kanan papan. Sebuah foto yang sempat dilihat Mika sekilas tadi, sebuah potret yang menampakkan foto 6 murid yang salah satunya adalah Ratna. Kehadiran foto itu semakin menguatkan penilaian Mika bahwa 4 murid di depannya ini pastilah berbagi ikatan yang cukup dalam dengan Ratna.
“Sisa peringkat, ditempati oleh 6 orang ini.” 6 lembar foto yang sejak tadi menyita perhatian Mika dicabut dari posisinya. Lantas di sebarkan di bagian tengah, membiarkan Mika melihat lebih jelas keenam murid tersebut. Benar, 3 diantaranya adalah teman sekelasnya sendiri.
“Mereka juga adalah orang yang berdiri di pihak sekolah. Kami menyebutnya School Trust, mereka punya hak istimewa yang digunakan untuk mendukung segala kebijakan sekolah dan menjadi tim penilai. Kasarnya, mereka adalah kaki tangan pihak sekolah terutama Kepala Sekolah.” Sudut bibir Nitha naik, menunjukkan senyum jijik yang tak ia tahan-tahan lagi ketika melihat foto keenam murid tersebut. Mengingat bagaimana keenamnya memanfaatkan hak istimewa mereka untuk kepentingan sekolah, dan menguntungkan diri sendiri. “3 diantara mereka teman sekelas lo kan?”
“Iya. Ketika pertama mendengar soal 10 peringkat tadi, gue percaya aja mereka termasuk.” Mika menunjuk foto Aya dan Farhan, sebelum kemudian menarik foto lain dengan dahi sedikit berkerut. “Tapi gue tidak menduga kalau Tasya termasuk ke dalam 10 peringkat, ditambah fakta ia berada di pihak berlawanan.”
“Harga diri lo terluka? Soalnya gue denger-denger Tasya dan lo punya hubungan yang buruk.” Kalau bukan karena jarak mereka yang sedikit jauh, dan Mika yang terlalu malas bergerak. Bukan tak mungkin, jika sepatu Mika akan melayang ke kepala Davin yang sekalinya angkat bicara hanya memancing kemarahan. Sejak pertemuan pertama pemuda itu memang sudah terlihat menyebalkan, namun siapa sangka semakin hari ia akan semenyebalkan ini.
“Kalau bukan karena Ratna mendapat hukuman dan peringkatnya dicabut, anak itu sudah pasti masih kesusahan di peringkat 11 nya. Dia adalah contoh nyata naik bukan karena kepintaran dan kecerdikkan melainkan koneksi.” Ekspresi Gio sekilas terlihat menggelap, sebelum memberi senyum tipis pada Mika. “Tak perlu merasa terluka. Mika kalah dari orang yang bahkan tak dianggap oleh timnya sendiri.”
Ucapan Gio itu hanya disambut anggukan singkat dari Mika yang kembali memperhatikan foto di depannya. “Ah, gue ketemu mereka istirahat siang tadi. Irgi dan Arga.”
“Si kembar?” tanya Nitha memastikan, sebelah alisnya naik merasa bingung. “Lo nggak diapa-apakan? Terutama sama Arga?”