Ada satu hal menarik yang menyita perhatian Mika sejak awal memasuki SMA Jayatri. Apalagi kalau bukan sebaris kalimat sapaan yang bisa kamu temukan di setiap sudut sekolah. Entah itu di banner , poster hingga kartu pelajarnya. Salam Kebanggaan.
Melalui salam itu ada semangat yang digaungkan untuk setiap muridnya. Seolah memberi tau bahwa mereka yang terdaftar menjadi murid SMA Jayatri, adalah mereka yang punya segudang prestasi yang pantas untuk dibanggakan. Menanamkan perasaan percaya diri tak kasat mata, yang membuat Mika merasa takjub sendiri. Sebab hanya melalui dua kata itu, ia merasakan perasaan dibanggakan ketika dirinya bahkan skeptis dengan kemampuannya sendiri.
Namun, ketika wujud asli SMA Jayatri dan orang-orang di dalamnya terkuak. Salam itu tak lebih dari sebuah omong kosong yang membuat Mika muak. Kalau bukan karena sederet peraturan aneh tentang sistem penilaian, sudah sejak lama ia akan merengek kepada sang nenek untuk memindahkannya. Kemana saja, asal bukan sekolah bak neraka ini.
Sudah 2 minggu berlalu sejak kejadian Ratna, Mika sadar bahwa semua murid di sekolah ini tak lebih dari sekumpulan orang bermuka dua. Orang-orang hanya akan menganggap keberadaannya jika sekolah memang menganggapnya ada. Bukan hanya itu, ada aura saling mengintai yang terasa di antara tiap murid yang baru Mika sadari. Seolah memberi tau bahwa mereka saling berhati-hati satu sama lain, dan waspada akan kemungkinan orang lain merebut peringkat mereka sendiri.
Namun, di antara mereka yang bermuka dua ada dua orang terasa teramat abu-abu bagi Mika. Aya dan Farhan. Kedua teman sekelasnya yang terlihat cukup dekat. Mereka selalu pergi kemana pun berdua, hingga sekilas ia berpikir bahwa keduanya adalah sepasang kekasih. Sebuah pemikiran yang ternyata tak benar adanya. Mereka terlalu abu-abu, Aya dengan diamnya dan Farhan dengan sifatnya yang terlalu ramah sekaligus misterius.
Tepat setelah ia mengetahui bahwa keduanya adalah salah satu dari mereka yang punya hubungan erat dengan pihak sekolah, Mika langsung menanamkan di dalam otak untuk tidak terlalu dekat. Sebab musuh yang terlalu abu-abu akan teramat susah untuk dikalahkan.
Sayangnya, seperti biasa semesta tak lagi memihak pada Mika. Entah Mika harus senang atau tidak ketika guru sejarahnya memberi tau bahwa ia, Aya, dan Farhan akan satu kelompok. Membuat Mika dengan pasrah menarik kursinya menuju deretan bangku depan. Tepat di mana dua murid terpintar di kelasnya duduk. Farhan yang notabene duduk di depan Aya, sudah memutar kursinya lantas melambai meminta Mika bergegas mendekat. Tentu dengan senyum lebar yang tak pernah absen terpatri di wajah, dan seperti biasa Aya hanya akan melirik sekilas sebelum kembali fokus kepada ponselnya.
“Oke jadi nanti kita mau presentasi dengan cara apa?” tanya Farhan membuka sesi diskusi ketika Mika sudah mendudukan dirinya tepat di sebelah meja. Tangannya menopang dagu, dengan binar mata tertuju kepada Aya seolah menunggu gagasan menarik dari gadis itu. Aya sendiri menarik keluar buku paketnya dari dalam laci meja, lantas mulai membuka bagian materi yang di dapat kelompok mereka.
“Kita kelompok pertama, dan presentasi hari ini. Jadi sederhana aja, pakai ppt. Lo tau cara buat ppt kan?” Tiba-tiba ditanya seperti itu membuat Mika yang pura-pura membaca materi menoleh mendapati kedua orang tersebut sedang menatap ke arahnya. Pulpen yang ia mainkan di bawah hidung segera diturunkannya lantas mengerjap polos.
“Ah iya tau kok.”
“Yaudah, lo buat ppt dan cari video pembelajaran. Nanti ambil dari buatan kakak kelas aja di perpustakaan.” Samar-samar terdengar suara guru sejarah mereka yang mempersilahkan mereka untuk pergi ke perpustakaan untuk mencari kebutuhan materi presentasi. “Gue sama Farhan bakal nyusun materi, dan nyari fakta-fakta penting yang nggak dibahas di buku.”
“Oke.” Sebagai seseorang yang memang masih beradaptasi dengan sistem kurikulum di sekolah ini, Mika hanya mengangguk. Mengiyakan saja, sebab ini juga pertama kalinya ia belajar sejarah dari tanah airnya sendiri setelah selama ini menempuh pendidikan di luar. Lagipula dua orang di depannya ini adalah murid terpintar di kelas, jelas mereka takkan membiarkan Mika mengacau dan memberi mereka nilai jelek.
Setelahnya Mika bangkit, mengekori Farhan dan Aya menuju perpustakaan. Hanya ada suara sepatu yang beradu dengan lantai yang terdengar, ketiganya sama-sama terdiam. Sayup-sayup ada suara riuh dari arah lapangan, yang diisi beberapa adik kelas yang sedang berolahraga. Hingga, tepat di tengah tangga Farhan menghentikan langkahnya lantas menoleh kepada Mika dengan sebuah seringai yang terasa menyeramkan.
“Jadi sekarang lo di pihak Davin?”
Berbeda dari sebelumnya, ini mungkin kali pertama Farhan terlihat menyeramkan. Tidak, sejak insiden Ratna dan bagaimana pemuda itu bersikap pura-pura tak tau akan apa yang terjadi. Mika tau kalau pemuda ini aneh. Senyum dan ucapan penuh keramahannnya selalu terasa seperti ia menyimpan sesuatu. Dan kali ini Farhan yang berada di depannya, sukses membuat bulu kudunya berdiri.
Aya yang menyadari bahwa ekspresi Farhan berubah hanya melirik, sebelum dirinya merubah posisi bersandar pada dinding. Memilih memperhatikan Farhan yang kini menunggu jawaban, atau lebih tepatnya validasi dari Mika sendiri. Entah Mika harus merutuk atau tidak ketika menyadari tangga yang mereka lewati adalah tangga yang paling jarang dilewati murid-murid di gedung ini.
Namun, bukan Mika namanya kalau ia kalah begitu saja dan menunjukkan sisi takutnya. Ekspresi gadis itu perlahan berubah. Menjadi lebih tenang, lebih congkak, dan lebih percaya diri. Seolah peringkat terakhir yang disematkan padanya bukanlah sebuah hal yang patut membuatnya merasa rendah diri untuk melawan provokasi peraih peringkat dua itu. “Hanya orang bodoh yang berada di pihak kalian.”
“Lo tau sedang melibatkan diri pada apa?” tanya Farhan tenang. “Permainan yang sedang kami mainkan terlalu berat untuk ketambahan pemain seperti lo. Terlalu seru untuk berubah menjadi permainan membosankan jika ketambahan orang seperti lo.”