“Mas, ada paket yang datang.”
Permainan piano yang mengalun indah di kediaman Wijaya tiap Sabtu pagi, terhenti begitu saja. Mungkin ini kali pertama sejak Gio bermain piano, permainannya diinterupsi. Sebab di rumah ini, menjadi sebuah kesalahan fatal bagi siapapun yang menganggu seorang Revan Gio Wijaya bermain piano apalagi di Sabtu pagi. Tak terkecuali, Bibi Diana yang notabene pegawai terlama di kediaman Wijaya. Orang yang menjadi pelaku utama sesi latihan pagi ini diinterupsi.
Tak ada jawaban.
Gio masih duduk membelakangi, dengan jemari-jemari masih setia di atas tuts-tuts piano. Butuh waktu beberapa detik, dan satu helaan napas cukup panjang sebelum sang pemuda meraih salah satu boneka matryoshka yang terbuat dari keramik dan tersusun di atas piano lantas melemparnya ke lantai. Tercerai berai, tepat di dekat kaki Bibi Diana. ART sekaligus pengasuh kedua bersaudara Wijaya itu tak nampak terkejut ataupun takut akan tindakan tiba-tiba itu. Perempuan berusia beberapa tahun lebih muda dari kedua orang tuanya hanya sedikit menunduk, memperlihatkan wujud penyesalannya sebab menganggu latihan sang tuan muda pagi ini.
“Sepenting apa paket itu, sampai Bibi mengangguku?”
“Saya tidak tau, tapi dikirim oleh pengurus panti asuhan Mbak Ratna.”
Kedua alis Gio bertaut, menatap kotak di tangan Bibi Diana dengan stiker barang pecah becah belah di beberapa sisi. Tepat setelah ia kembali dari perlombaannya, Gio lah yang mengurus semua barang Ratna yang tertinggal di tempat tinggalnya. Sebuah kamar kos yang memang disediakan sekolahnya bagi murid beasiswa yang berasal dari luar daerah. Ia mengemas semua baju, buku dan sepucuk surat ucapan belasungkawa kemudian mengirimkannya ke panti asuhan tempat Ratna dulu tinggal. Sekolah jelas mengabari pengurus panti kalau Ratna meninggal karena sakit atau alasan apapun yang takkan terdengar aneh bagi orang awam. Itulah mengapa, ia bubuhkan di akhir surat permintaan untuk tidak berhubungan dengan siapapun lagi dari pihak sekolah ataupun dirinya.
Siapa sangka, beberapa minggu kemudian justru ada sebuah kotak sebagai balasan surat tersebut.
“Terimakasih sudah mengambilkannya Bibi, maaf atas tindakanku tadi.” Gio bangkit, mengambil alih kotak di tangan Bibi dengan senyum terpatri. “Lain kali, jika Bibi mengulanginya mungkin bukan sekedar boneka terlempar yang kulakukan.”
Paham maksud Gio, Bibi Diana mengangguk takzim lantas pamit undur diri. Gio duduk di sofa panjang, menunggu ARTnya yang lain membersihkan pecahan keramik dari boneka yang dilemparnya. Tepat setelah dirinya benar-benar sendiri di ruang santai, pemuda itu meraih cutter yang dia minta ambilkan. Ia bersyukur kedua orang tuanya selalu sibuk hingga jarang di rumah, dan Kia telah berangkat untuk kompetisinya sejak pagi-pagi buta. Menyisakan ia dan para pekerja di rumah sebesar ini.
Gio amat sangat mengenali benda yang ada di dalam kotak. Sebuah laptop berwarna abu-abu, dengan stiker buah ceri tertempel di beberapa sisi. Laptop milik murid yang sempat sangat dibanggakan SMA Jayatri sebelum berakhir menjadi tak ternilai. Siapa lagi kalau bukan Ratna.
Pertanyaannya saat ini, kenapa laptop itu dikirimkan kepadanya? Ketika ini menjadi barang terpenting bagi seorang Ratna Sinta. Tak ada satu orangpun yang boleh menggunakan bahkan memegang laptopnya, kecuali dirinya sendiri. Jelas ada banyak rahasia yang tersimpan, dan mengapa pihak panti asuhan justru mengirim balik kepadanya.
“Apapun yang datang setelah kematianku, Kakak harus pecahkan teka-tekinya sendiri”
Pesan terakhir yang diucapkan Ratna sebelum ia pergi ke Rusia kembali terngiang di kepala. Sebuah pesan yang ia ingat baik-baik, sebab itulah kata-kata terakhir sang perempuan sebelum berakhir terjatuh dari gedung perpustakaan. Tepat ketika ia tak berada di samping Ratna. Membuatnya kembali ke tanah air dengan harapan kosong kalau sang gadislah yang akan menyambutnya di bandara.
“Sebenarnya berapa banyak teka-teki yang kamu tinggalkan untukku?”
***
“Kemungkinan banyak.”
Davin memutar bola matanya malas, kala Mika lagi-lagi menjawab pertanyaan yang ia gumamkan pelan. Pemuda itu sibuk, berkutat dengan kode sementara Mika malah asyik berselancar ria di web pencarian. Entah mencari apa, sebab kertas coretan sang gadis masih putih bersih tak sepertinya yang sudah penuh kata-kata atau bahkan coretan. Hasil dari memeras otak selama berjam-jam.
“Kalau lo nggak punya jawaban jelas dari gumaman gue, tolong jangan dibalas. Bisa?” pinta Davin menahan kesal. Kalau tak ingat ia berada di ruang tengah kediaman Mika, pemuda itu mungkin sudah memaki dengan nada tinggi sang gadis. Jelas ia masih punya sopan santun untuk tidak memaki sang pemilik rumah, di tengah para pekerja yang tak henti mondar-mandir di sekitaran mereka.