“Gue akuin, Mika punya keberanian setinggi langit.”
Arga tertawa kencang, ketika melihat pesan yang dikirim Dion dalam grup chat mereka. Apalagi kalau bukan, jawaban Mika yang berhasil menyingkirkan Tasya dari peringkatnya hanya dalam satu kali serang. Hak spesial yang dimiliki Dion, membuat ia dapat mencari tau jawaban satu orang murid setelah evaluasi. Sebuah hak spesial yang selama ini hanya digunakan untuk mencari tau jawaban Davin, namun sekarang pemuda itu gunakan kepada Mika. Tentu saja itu semua atas perintah Farhan.
Siapapun tau sebesar apa konsekuensi dari setiap jawaban yang mereka pilih. Seluruh murid SMA Jayatri selalu diberi pilihan menjawab benar atau menjawab salah. Selama ini kolom abstain selalu diisi oleh pengurangan poin atau penghapusan catatan prestasi, atau apapun yang lebih berat daripada menjawab salah. Itulah sebabnya hampir seluruh murid SMA Jayatri enggan memilih abstain hingga tak menyadari bahwa kolom itu kosong untuk evaluasi sekarang. Di tengah ketidakpastian itu, entah karena tidak tau atau memang nekat. Mika justru memilih abstain dan tak ada yang tau apa yang didapatnya dari pilihan abstain itu hingga membuatnya berhasil meroket ke peringkat 9.
“Dia bukan berani,” gumam Irgi yang sedaritadi hanya diam sembari menonton berita penangkapan kasus korupsi tambang minyak melalui tabletnya. Sebuah kasus besar yang sedang hangat dibicarakan, dengan ayah Tasyalah sebagai pelaku utama dalam kasus tersebut. Mata Irgi terangkat, menatap orang-orang di depannya sebelum melanjutkan, “Gue rasa Mika memang cukup cerdik.”
Sadar kalau kembarannya sudah menatapnya curiga, Irgi menghela napas. “Maksud gue, siapa yang akan menyangka kotak kosong itu bukanlah jawabannya. Melainkan konsep dari ketiadaan itu yang jadi jawabannya? Gue rasa Mika berpikir cukup cerdas untuk memahami bahwa ketiadaan benda dan jawaban pasti menjadi petunjuk bahwa ia harus memilih abstain.”
Farhan menghela napas, pemuda yang memang emosinya sudah terkuras habis sejak tadi hanya bisa bersandar pada bean bag yang ia duduki sembari memejamkan mata. Bergumam sesuatu yang tak bisa didengar si kembar dengan jelas, namun dapat didengar jelas oleh Aya yang duduk di sampingnya.
“Sial, kenapa dia harus secerdas Ratna?”
***
“Bisa-bisanya di situasi genting tadi, lo malah salah pencet!”
Davin berseru kesal, memijat pelan keningnya yang terasa pening. Sudah pening dihadapi dengan kemacetan Jakarta yang tiada habisnya tadi, sekarang ditambah penjelasan Mika bahwa ia memilih jawaban abstain hanya karena dia salah pencet dari tombol submit jawaban ke tombol abstain yang berada tepat di samping tombol itu. Jujur saja Davin sudah bersuka cita, kalau orang yang dipercaya Ratna untuk bergabung dengan mereka memiliki kemampuan mumpuni seperti gadis itu. Ternyata, Mika tetaplah Mika.
Pelaku utamanya sendiri hanya terkekeh, terlentang di atas karpet di ruang utama dengan sebungkus es di dahi. Katanya sih mendinginkan kepalanya yang bekerja terlalu keras sejak hari Jum’at. “Yang penting, gue bisa rebut peringkat 9 itu kan?” ujarnya tenang, melirik Davin yang sudah tiduran di sofa panjang. Melihat posisi mereka, semua orang pasti akan berpikir penghuni rumah adalah Davin bukan Mika.
“Ya iya sih, ngomong-ngomong benefitnya apa dari lo pilih abstain?”