Upacara telah dimulai, membuat Gio memiliki beberapa waktu luang. Hanya dengan alasan ingin menyisir seluruh sudut sekolah, untuk memastikan semua murid terlambat telah dikumpulkan. Gio berjalan menuju lorong dekat taman belakang, hanya untuk mendapati seorang pemuda dengan jas putih duduk di salah satu bangku. Sesekali pemuda itu menyesap rokoknya, tanpa menghembuskan keluar asap rokok tersebut. Cara menyesap nikotin yang amat sangat tidak sehat, membuat Gio terkadang mempertanyakan gelar dokter milik pria itu.
“Jadi kali ini benaran kabur dari tugas, atau ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan saya?” tanya sang pria ketika Gio sudah duduk tepat disampingnya.
“Bagaimana kabar dokter? Saya dengar dokter mendadak hilang entah kemana selama berminggu-minggu semenjak hukuman ke-39 telah selesai.” Dokter sekaligus penanggung jawab UKS sekolahnya itu hanya tersenyum kecil. Tau bahwa sebenarnya Ketua OSIS itu hanya sedang berbasa-basi sebelum mempertanyakan hal sebenarnya. Namun, ia jelas menghargai bagaimana Gio tetap bertanya akan kabarnya.
“Buruk, tidak akan pernah menyenangkan melihat murid-murid yang terkena evaluasi. Terutama yang terkena hukuman ke-39,” ucap sang dokter kembali menyesap nikotinnya. “Davin yang bilang?”
“Ya dokter Deva.” Gio mengangguk ke arah Deva yang notabene adalah kakak dari Davin.
Si anak sulung yang selalu dibicarakan oleh Davin sebagai sebuah aib dan betapa ia membenci sang pemuda sebab menghancurkan ekspetasi kedua orangtuanya sehingga membuat semua tekanan untuk menjadi yang terbaik berpindah ke pundak Davin. Bahkan jika melihat tingkah dan penampilan Deva, tidak akan yang menyangka bahwa ia adalah seorang dokter yang bertanggung jawab penuh akan kesehatan seluruh murid SMA Jayatri terutama bagi mereka yang berprestasi di bidang olahraga.
Dibalik jas putih yang dikena sang pria, tersembunyi beberapa tato sehingga ia tak pernah melepas jasnya di lingkungan sekolah. Bahkan merokok pun, hanya ia lakukan ketika upacara seperti sekarang dan selalu di lorong menuju taman belakang. Membuat Gio beberapa kali bertanya-tanya apa alasan sekolah seketat SMA Jayatri mempertahankan Deva sebagai dokter, selain karena ia lulusan sekolah ini.
“Hanya itu saja yang ingin kamu sampaikan?” tanya Deva tenang, mematikan rokok dan langsung menyentilnya ke dalam tong sampah usang di dekatnya. Kini menatap Gio dengan senyum kecil.
“Dok.” Gio diam sesaat kembali menimbang-nimbang haruskah ia bertanya perihal apa yang ia curigai setelah melihat isi laptop Ratna yang berhasil ia bobol kata sandinya kemarin. Sebuah kegiatan yang lebih ia pentingkan daripada penilaian peringkat sehingga menjawab asal. “Apa dokter tau kalau Ratna mencoba mencari keluarga aslinya?”
“Ya, saya tau.” Deva mengiyakan pertanyaan itu, kembali teringat ketika gadis itu mendadak muncul ke depannya dan meminta pertolongan untuk mencari tau siapa keluarganya. “Saya sudah membantu, namun informasi mengenai keluarganya terlalu minim hingga kami tidak tau harus memulai darimana.”
“Jadi, Ratna tidak berhasil menemukan keluarga aslinya?”
Pertanyaan itu membuat Deva menatap Gio tenang, seolah menilai sesuatu dari sang pemuda sebelum menghela napas. “Saya tidak tau soal itu, tapi saya hanya berhasil mengetahui satu informasi. Entah apa informasi itu mampu membuat Ratna menemukan siapa keluarganya.”
“Apa itu?”
“Ia tidak dibuang, namun korban kecelakaan lalu lintas yang hingga akhir tidak ada satupun keluarga yang mencarinya.”
***