Kalau ditanya apa hal yang paling Davin benci di dunia ini. Maka ia tanpa pikir panjang akan menjawab bahwa itu adalah keluarga. Memiliki seorang ayah dengan segudang skandal serta ibu yang tak memperdulikan apapun selain uang dan gaya hidup mewahnya membuat Davin selalu bertanya-tanya mengapa ia lahir dalam keluarga seperti ini. Setiap hari adalah perlombaan, semua orang adalah musuh. Sebuah pola pikir yang terus ditanamkan oleh keluarga besar terhadap dirinya. Membentuk Davin menjadi sosok yang kompetitif dan egois.
Terakhir kali Davin mempercayai seseorang, adalah saat sang kakak berjanji bahwa ia akan menjadi pribadi yang teramat baik dan kuat hingga tak ada satupun keluarga besarnya yang akan menuntut Davin mengikuti perintah dari keluarga. Namun, janji itu menjadi bualan semata kala Deva berubah sepenuhnya di satu waktu saat masa putih abu.
Davin ingat, kala itu ia baru saja pulang dari sekolah dengan perasaan gembira sebelum mendapati bahwa sang kakak telah kabur dari rumah. Ia ingat saat itu, semua kebebasannya mendadak terengut termasuk kebebasan dirinya untuk menuntut ilmu dimana saja. Davin yang notabene dimasukkan di sekolah negeri unggulan di ibukota saat itu, langsung dipindahkan ke sekolah lain yang jelas skala kualitasnya jauh berbeda dari sebelumnya. Hubungannya dengan teman di sekolah lama terputus, pertemanannya diatur, disusul sederet jam belajar tambahan yang membuatnya tak bisa lagi bersosialisasi siapapun.
Tak lama bagi Davin untuk memahami, bahwa kini ia dipersiapkan menjadi salah satu pewaris usaha keluarga mereka. Bersaing dengan seluruh paman, bibi hingga sepupunya untuk memperebutkan kekuasaan tertinggi dalam kerajaan bisnis yang telah dibangun sang kakek berpuluh-puluh tahun. Beban yang sebelumnya berada di pundak Deva, kini sepenuhnya beralih ke pundak Davin.
Kakaknya itu baru kembali ke rumah, menjelang ujian akhir masuk perguruan tinggi. Walau sebenarnya Deva lebih bisa dibilang diseret untuk kembali ke rumah mereka. Penampilannya berantakan, disusul sederet piercing yang memenuhi wajah, tak lupa beberapa tato di sekujur tangannya. Benar-benar berubah dari apa yang Davin ingat kala itu. Namun, kondisi itu tak membuat ayahnya serta merta membuang keberadaan si sulung begitu saja. Entah bagaimana caranya, dengan penampilan seberantakan itu kakaknya tetap masuk di jurusan kedokteran sebuah universitas. Tak tau apa itu murni hasil otak Deva yang memang cemerlang atau ada peran keluarganya di balik sana.
Itulah mengapa, ketika Ratna memberi perintah untuk mempercayai orang asing seperti Mika dirinya menjadi ragu. Ditambah catatan prestasi sang puan terlalu bersih untuk bisa masuk ke Jayatri, belum lagi latar belakang keluarganya yang walau berasal dari salah satu keluarga kaya di negeri ini tetap saja tak memungkinkan sang gadis masuk lewat jalur suap. Arlina Mika adalah hal paling abu-abu yang pernah Davin temui. Maka ditengah keraguannya itu, ia sempatkan mengirim beberapa orang untuk menyusup ke kediamannya. Entah sebagai satpam, pelayan atau bahkan tukang kebun. Pokoknya ia ingin memastikan bahwa gadis itu tak akan mengkhianati mereka kapanpun.
Siapa sangka, kalau Mika punya cara lain untuk menyakinkan keraguannya itu. Termasuk, dengan membongkar kartu as yang ia punya. Siapapun kakak Mika dan apa tujuannya, ia terlalu hebat untuk bisa membuat salah satu anggota school trust berani membelot. Apalagi orang itu adalah Irgi.
“Gue akan sangat berterima kasih, kalau lo tidak mengatakan ke yang lain dulu soal tadi.”
Lamunan Davin terpecah, tak begitu kaget kala Mika memergokinya di sudut dalam lorong menuju ruang audio. Tempat dimana ia bersembunyi, untuk menguping pembicaraan Mika dan Irgi tadi. Ekspresi marah dan kecewa yang tadi pagi gadis itu tunjukkan lenyap sudah, tergantikan sebuah senyum lebar yang tak bisa Davin artikan. “Kenapa gue nggak boleh bilang yang lain?”
“Karena bukan sisi Farhan saja yang mempunyai pengkhianat,” ujar Mika tenang sembari memainkan kartu hak peringkatnya di tangan. Benda yang seharusnya tak ia tunjukkan secara bebas di depan umum. “Gue udah bicara sama kakak gue, dia akan bantu lo untuk membongkar busuknya Jayatri. Tapi sebelum itu lo harus bantu gue juga,”
“Jadi kakak lo menawarkan kerja sama ke gue sekarang?”
“Tentu, apalagi kita punya tujuan yang sama. Lo bantu gue, dan gue akan bantu lo.” Mika menatap datar pintu ruang audio, entah memikirkan apa saat ini. “Alasan kenapa Ratna meminta lo untuk percaya sama gue. Karena gue adalah variabel penentu yang telah dia siapkan sebelumnya.”
“Kenapa lo suka banget mengasosiasikan diri sebagai variabel sih?” balas Davin seraya tersenyum miring. Bukankah mereka ada di pihak yang sama, akan lebih pantas jika gadis itu mengasosiasikan diri sebagai bala bantuan atau kartu as seperti yang Ratna bicarakan. Mika tak langsung menjawab, namun kini menatap Davin teramat serius.
“Sebab gue bisa jadi alasan kemenangan atau kekalahan lo.”
***