Mika sadar bahwa sikapnya belakangan ini, jelas merubah keadaan.
Baik kubu Farhan maupun kubu Davin kini lebih berhati-hati dalam membangun strategi mereka. Untuk keduanya Mika adalah hal abu-abu, sehingga mereka harus pintar-pintar menentukan strategi apa yang mereka bisa bagi kepadanya jika tidak ingin kecolongan di tengah rencana. Sesuatu yang jelas membuat intensi permainan menjadi lebih serius.
Farhan dengan kubunya yang semakin awas akan segala tindakan kubu Davin. Tak ingin kecolongan lagi seperti saat Ratna berhasil membeberkan ‘wajah’ Jayatri sebenarnya di salah satu sosial media walau hanya bertahan selama 30 menit. Waktu yang cukup untuk membuat nama Jayatri sedikit tercoreng untuk beberapa orang, meski sebagian besar yang sempat membaca tulisan Ratna kala itu beranggapan bahwa apa yang mereka baca hanyalah sekedar fiksi dari orang berimajinasi tinggi. Belum lagi Farhan yang bersiap-siap akan rencana besar yang ia susun sendiri. Taruhannya dengan Mika jelas akan mempermudah rencana itu, sehingga sang pemuda harus mencari cara membuktikan bahwa Mika salah.
Davin dengan kubunya yang tak bisa memastikan apakah Mika adalah lawan atau sekutu. Sepotong perbincangan mereka kemarin, jelas membuat sang pemuda semakin bertanya-tanya akan hal apa saja yang telah Mika ketahui. Selain itu, Mika seolah memberi tahu secara tersirat bahwa ia punya rencana sendiri di dalam Jayatri. Artinya Mika akan bergerak sendiri dan bisa melakukan apapun, termasuk mengkhianati rekan sendiri.
“Halo.”
Seruan itu menyadarkan Mika dari lamunan, mengalihkan pandang dari layar laptop ke seorang pemuda yang sudah tersenyum lebar di depannya. Ekspresinya cerah, dengan seragam yang sudah tak karuan bentuknya. Sebuah pemandangan yang cukup unik, sebab senakal apapun murid di Jayatri mereka masih mematuhi peraturan seragam. Kecuali pemuda di depannya ini.
“Kenalan dulu dong,” ujarnya sembari mengulurkan tangan masih dengan senyum merekah. “Gue Dion.”
Uluran tangan itu, hanya ditatap Mika sebelum kembali fokus kepada apapun yang sedang dikerjakannya di laptop. Mengabaikan sosok Dion yang nampak tak tersinggung diabaikan sedemikian rupa. “Omong-omong, gue suka gimana cara lo memecahkan teka-teki tempo hari. Jujur gue nggak kepikiran untuk jawab abstain aja.”
“Tapi tetap aja dengan benefit yang lo dapat, seharusnya pilih peringkat tinggi aja saat itu.” Gerakkan tangan Mika berhenti, sepenuhnya fokus kepada sosok kakak kelas di depannya. Dion tersenyum jahil, tau bahwa ucapannya tadi sukses merebut atensi Mika kepada dirinya.
“Seharusnya nggak gitu.” Mika melipat kedua tangannya di atas meja, kini menatap Dion serius. “Bukan begitu caranya memperkenalkan diri ke ‘musuh’ lo.”
Salah satu sudut bibir Dion terangkat sedikit, meletakkan kepalan tangannya ke atas meja perpustakaan. Sebelum memajukan wajah dan berbisik teramat pelan. “Gue memperingatkan lo, ada banyak hal yang akan lo lawan untuk mengungkap wajah asli Jayatri. Satu langkah salah, lo akan bernasib sama seperti Nana, Tasya atau bahkan Ratna.”
Bisikan itu jelas sebuah ancaman halus. Mengancam Mika untuk tidak berbuat hal aneh, dengan mengingatkan bahwa Jayatri bisa melakukan apa saja. Sekali saja salah mengambil langkah, maka baik dirinya ataupun Davin tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Mereka hanya bisa pasrah akan segala hal buruk yang menimpa mereka dalam waktu dekat. Sama seperti Ratna.
Dion menepuk pundak Mika beberapa kali, seolah memberi semangat sebelum berlalu pergi. Mengabaikan tatapan murid lain yang sempat tertuju kepada mereka sebelum kembali fokus ke kegiatan masing-masing. Mika yang terdiam lesu lantas menutup wajahnya dengan kedua tangan, membuat mereka yakin bahwa Dion baru saja mengatakan hal yang tidak-tidak kepada sang siswi baru. Sebab sudah menjadi hal biasa, bahwa Dion senang menakut-nakuti setiap anak baru tentang ‘wajah’ asli Jayatri demi kesenangan pribadi.
Namun, tak ada yang menyadari bahwa Dion sempat meletakkan sebuah flashdisk di antara tumpukan kertas di atas meja sebelum berlalu pergi. Membuat Mika mati-matian menutupi wajahnya agar tidak ketahuan sedang tersenyum puas di balik akting mereka.
Menipu setiap mata akan fakta bahwa mereka adalah sekutu.
***
Aya paling benci sakit.
Dia tak suka ketika tubuhnya melemas dan kepalanya terasa mau pecah seperti saat ini. Tidak ketika ada setumpuk tugas yang menuntut diselesaikan hari ini. Sebagai anggota OSIS yang sedang mempersiapkan festival, Aya punya segudang pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya. Jangan lupakan fakta bahwa dia berada di tahun kedua yang berarti festival kali ini lebih dibebankan kepada angkatannya sebagai pembuat keputusan. Hal ini didukung oleh Farhan yang ditunjuk menjadi ketua pelaksana, membuat pemuda itu sulit sekali ditemui sejak Festival diumumkan.
“Kalau kamu nggak kuat, pulang saja.”
Sebuah tangan mendadak terulur menyentuh pelipis Aya. Ia yang sedang menundukkan kepala, otomatis mendongak untuk mendapati sosok Gio yang menatapnya serius. “Jangan dipaksa, saya nggak mau ada yang tumbang selama menyiapkan festival.
Secara perlahan Aya menepis tangan Gio, lantas bangkit berdiri. Tak memperdulikan saran sang ketua OSIS, lebih memilih menghampiri teman satu divisinya yang sibuk membicarakan pemetaan acara di atas panggung aula. Namun, langkahnya berhenti kala seseorang tanpa permisi merebut map di tangan Aya begitu saja.