Hukuman Murid Ke - 38

Athiyah Nazifah
Chapter #21

Dua Puluh: Untuk Melindungi

Aya menghabiskan masa kecilnya berada dalam kemiskinan. Ia terbiasa untuk menahan lapar sebab sang ibu baru bisa mendapatkan uang di sore hari setelah bekerja sebagai tukang cuci piring di salah satu rumah makan. Bajunya didominasi baju lusuh hasil dari pemberian tetangga, bahkan baju terbagusnya adalah hasil dari pembelian baju bekas setelah sang ibu menyisihkan uang selama beberapa bulan. Ia tak punya mainan, sehingga tanah dan batu pekarangan menjadi hal unik untuk ia mainkan.

Lantas ditengah hidupnya yang kesusahan itu, keluarga Farhan hadir bagaikan air di padang pasir tandus. Memberi harapan dan sukacita, akan segala hal kecil yang mereka berikan. Itulah mengapa Aya selalu menganggap keluarga Farhan teramat berharga. Sebab merekalah yang mengubah masa kecilnya menjadi lebih baik, hingga sang ibu menjemput ajal ketika dirinya baru duduk di tahun pertama sekolah dasar. Kasarnya Aya selalu berhutang budi kepada keluarga kecil itu, bahkan ketika ayah kandungnya mendadak muncul dan memboyong Aya ke dalam kehidupan penuh kemewahan.

Jelas ada harga yang harus dibayar. Untuk Aya harga itu berupa fakta bahwa ia adalah anak di luar nikah seorang pembisnis besar tanah air dan ia harus merahasiakan itu dari siapapun. Ia masih diberi kebebasan untuk bersekolah di sekolahnya saat ini, namun ia tak diperbolehkan pergi kemana saja selain sekolah. Namun, kabar duka kematian Erika membuat Aya bersikeras untuk datang ke rumah Farhan. Merengek dan membujuk semampu yang ia bisa, namun hanya diabaikan oleh pengasuhnya saat itu. Kemudian, kakak satu-satunya yang hari itu kebetulan pulang lebih cepat mendadak mendukungnya. Pemuda bernama Danu yang selama berbulan-bulan tak menganggap keberadaannya hari itu memperbolehkan Aya pergi dan berjanji ialah yang akan bicara kepada ayah mereka.

Maka, ketika Aya kembali ke depan rumah bertingkat dua tersebut ia menangis. Berlari menuju ayah Farhan yang jelas terkejut mendapati keberadaannya yang selama ini bak hilang ditelan bumi setelah kematian sang ibu. Laki-laki itu hanya mengusap airmata Aya yang jatuh menetes, sebelum memintanya untuk menjemput Farhan di taman kompleks. Dengan tubuh kecilnya Aya mendapati sosok Farhan yang duduk di bawah sebuah pohon dengan pakaian serba hitamnya. Tak ada airmata yang menetes, namun tangan sang pemuda terkepal terlalu erat. Hari itu, Aya berjanji pada dirinya ia akan melakukan apapun untuk Farhan. Ia akan selalu berada di pihak Farhan, baik benar ataupun salah.

“Jangan melihat gue seperti itu dong.”

Ucapan itu memecah lamunan Aya akan masa lalu, sebelum berdecih. Enggan menatap Mika yang masih tersenyum lebar di posisinya, seolah tak sadar perkataannya tadi sama saja dengan menyulut pertengkaran. Lebih tepatnya menyulut keinginan Aya untuk memusnahkan gadis di depannya itu. Aya begitu ahli menutup rapat rahasianya untuk hal satu itu, termasuk dari Farhan. Terutama dari Farhan.

Farhan memang memposisikan diri di pihak sekolah, namun tak ada yang tau apa alasannya. Sebuah fakta yang membuat Aya yakin untuk menyembunyikan fakta bahwa ayah kandungnya adalah sang pemilik yayasan. Ia hanya tak ingin, pemuda itu berpikir dirinya akan menjadi penghalang hanya karena dirinya anak dari sang pemilik yayasan.

“Kalau begitu, kenapa kita tidak terang-terangan saja sekarang?” Aya berusaha tetap tenang, walau kepalanya terasa mau pecah saat ini. “Lo sudah tau siapa gue, kenapa nggak langsung kasih tau apa tujuan lo di Jayatri sekarang.”

“Tenang, gue nggak bermaksud untuk mengancam lo dengan fakta barusan. Atau lebih tepatnya belum.” Mika terkekeh pelan. “Mulut gue terkunci rapat. Gue nggak akan kasih tau siapa-siapa soal lo yang adalah anak pemilik yayasan. Lagipula kalau gue membocorkan itu, posisi Davin akan menjadi serba salah. Bukan tak mungkin murid Jayatri akan mengorek lebih dalam lantas menemukan fakta Davin dan lo adalah sebuah keluarga. Keluarga yang mengontrol apapun yang berkaitan dengan Jayatri.”

“Jadi, apa yang harus gue lakukan sebagai ganti tutup mulut itu?” Ujung bibir Mika tertarik ke atas, senang sebab Aya ternyata cukup pintar membaca situasi. Ia sadar bahwa hal sekrusial itu tak mungkin dirahasiakan secara cuma-cuma, jelas ada hal penting yang Mika inginkan sebagai imbalan. “Gue akan berikan apapun itu, kecuali berkhianat dari Farhan atau jadi informan lo.”

“Tanpa lo berkhianat, gue cukup yakin bisa mengalahkan Farhan nanti.” Pandangan Mika menerawang ke seluruh penjuru ruangan lantas menghela napas. “Gue cuman perlu lo cari tau kebenaran soal Ferdinan Mahendra yang ditutupi keluarga lo.”

“Siapa itu?”

“Ayah gue.”

***

“Selamat datang kembali di Jayatri anak-anak.”

Sambutan penuh antusias itu hanya ditanggapi dingin oleh para anggota Golden Jayatri yang tersisa. Tak ada satupun yang membalas bahkan sekedar tersenyum menanggapi sambutan dari kepala sekolah mereka. Enggan memberi sedikitpun keramahan pada laki-laki yang telah mengubah masa SMA mereka menjadi neraka tak berujung. Siksaan sebagai yang terbaik untuk Jayatri selalu mengekang mereka hingga hari ini, membuat mereka yang muak kembali ke Jayatri tidak mempunyai pilihan lain selain datang saat diminta.

8 orang tersebut, diarahkan duduk ke deretan sofa di ujung ruangan. Sebuah tempat yang cukup untuk menampung mereka, tak lupa segelas minuman berbeda yang tersaji di atas meja. Cukup dengan melihat bagaimana pihak sekolah mampu menyajikan minuman favorit mereka belakangan ini, sudah menjadi bukti bahwa mereka tak sepenuhnya terbebas dari cengkraman Jayatri. Lebih tepatnya cengkraman dari sosok pria yang duduk di sofa tunggal sedaritadi, dengan kemeja lengan pendek yang membalut tubuh tegapnya meski beliau sudah berusia setengah abad. Sang pemilik yayasan, Randi Mandala Wicaksana.

“Senang rasanya bisa bertemu kembali dengan murid panutan Jayatri yang memulai semangat kebanggaan,” sambut Pak Randi setelah menyesap tehnya. Ada hening yang cukup lama, sebelum sang pria menaikkan sebelah alisnya seolah merasa terganggu. “Namun, saya tidak mendengarkan sapaan sedaritadi. Seingat saya, Jayatri selalu mengajarkan soal sopan santun kepada yang lebih tua.”

Bagaikan mantra, para anggota Golden Jayatri langsung menegapkan badan. Membungkukkan sesaat sebagai bentuk kesopanan, sebelum tersenyum ramah. “Selamat sore Pak Randi dan Pak Prabu, terimakasih sudah mengundang kami kembali.”

Lihat selengkapnya