Dion tersenyum kecil.
Kantuknya lenyap sudah, bersama dengan ketenangan Jayatri. Ia masih suka takjub bagaimana satu pesan selalu bisa mengubah ketenangan menjadi kekacauan. Seperti saat ini, Dion melihat langsung bagaimana seisi Jayatri langsung ricuh. Ada yang langsung berteriak histeris, ada yang berlomba-lomba menuju perpustakaan untuk mencari tau soal Golden Jayatri, ataupun yang berpikir serius akan teka-teki yang diberikan. Pemuda itu menyisir rambutnya ke belakang, lantas beranjak keluar dari ruang lab bahasa. Menemukan di lantai 2, murid-murid menyerbu perpustakaan hingga saling sikut menyikut. Segala kesopanan yang dijunjung tinggi mereka lenyap begitu saja.
“Woy ngapain ngeliatin? Lo nggak mau buru-buru mecahin teka-tekinya?” Salah satu teman seklub Dion menegur, wajahnya sudah pucat pasi akibat ketegangan yang tercipta. “Waktu kita dikit banget. Dan kalau nggak terjawab, posisi kita terancam.”
Tak seperti 10 peringkat atas yang mengetahui satu sama lain, mereka yang tak masuk peringkat selalu dihantui oleh posisi mereka yang tak pasti. Poin memang diberitahu, namun tak pernah tau siapa yang memiliki poin terendah. Alasan mengapa satu Jayatri dibuat panik saat ini. Andai saja mereka tau kalau Mika bisa duduk di bangku peringkat hanya dengan 200 poin, mungkin mereka semua tidak akan sepanik ini.
“Duluan aja, gue mau cari petunjuk di tempat lain.”
Teman Dion mengangguk, bergegas menaiki tangga menuju perpustakaan. Meninggalkan Dion yang masih mengamati kericuhan, sebelum akhirnya beranjak pergi. Namun tujuannya bukanlah perpustakaan yang berada di lantai dua. Ia bergegas keluar dari gedung, hanya untuk mendapati bahwa suasana di luar tak jauh berbeda. Murid-murid Jayatri berlari kesana kemari berusaha mencari petunjuk ataupun sekedar keberadaan para Golden Jayatri yang dimaksud.
Dion berjalan tenang, menuju gedung aula utama Jayatri yang berada tepat di samping gedung perpustakaan. Ketika ia membuka pintu, dia bisa melihat beberapa murid Jayatri yang mencari kesana kemari. Berusaha mencari kotak yang dimaksud dari teka-teki ketiga. Belum sempat ia beranjak dari ambang pintu aula, ada Nitha yang sempat meliriknya sebelum berjalan menuju panggung. Ia tersenyum kecil, nampaknya mereka akan menjadi penjawab dari teka-teki ketiga.
Sepertinya Dion harus berterima kasih pada para School Trust yang lain, sebab pembicaraan mereka yang selalu berputar-putar di Golden Jayatri. Membuat ia cukup hafal akan wajah para anggota yang menjadi awal dari sistem pemeringkatan khusus ini. Termasuk wajah yang diam-diam mengintip dari ruang kontrol aula di atas sana.
Langkah Dion berhenti di salah satu undakan tangga, menatap ruang kontrol yang tertutup oleh tirai lantas memberi senyum kecil. Sedetik kemudian, pemuda itu menyanyikan lagu kebangsaan dengan lantang. Membuat seisi aula yang semula sibuk mencari sontak terdiam, terpaku pada tindakan Dion yang dinilai begitu tiba-tiba.
“Bagaimana nyanyianku, Kak Dini?” tanyanya menatap lurus ke arah ruang kontrol. “Pergilah ke aula, kemudian cari sebuah kotak dan bernyanyilah. Aku sudah bernyanyi tepat di dalam kotak yang kalian maksud. Sebab gedung aula berbentuk kotak.”
Hening. Semua mata memandang ke arah ruang kontrol, menunggu tanggapan dari jawaban penuh percaya diri dari seorang Dion. Tirai transparan ruang kontrol lantas terbuka, menampilkan dua sosok perempuan yang ada di sana. Salah satu dari mereka tersenyum lebar, sementara yang lain hanya duduk mengamati dari balik kacamata hitam.
“Siapa namamu?” tanya Dini menggunakan mikrofon yang terhubung langsung ke aula. Wajahnya sumringah, senang bahwa ada yang menyadari bahwa bentuk gedung aula adalah kotak.
“Dion. Dion Fabian Adji.”
“Oke Dion, kamu benar. Namun, aku belum bisa memberikan poin sampai ada orang lain yang menjawab benar.” Pandangan Dini lantas teralih ke semua murid yang ada gedung aula. Perempuan yang notabene salah satu pemilik Production House ternama tanah air itu jelas sekali antusias akan kehebohan yang ia dan anggota Golden Jayatri buat. “Untuk yang lain, ada satu jawaban lain dari teka-teki nomor 3. Jadi aku harap, tidak ada yang melakukan hal sama seperti Dion-”
“Tidak perlu diperingatkan.” Kenanga memotong perkataan Dini, sang puan menunjuk ke arah panggung sebelum sudut bibirnya terangkat naik. Tau bahwa sudah ada yang berhasil menemukan jawaban lain yang dimaksud.
Di panggung, nampak Nitha memegang sebuah kotak kayu yang baru saja ia ambil dari lantai di bawah mimbar. Nitha menyadari bahwa pola kotak-kotak di lantai bawah mimbar terlihat aneh. Semua polanya sama, namun, ada satu pola yang berbeda. Siapa sangka bahwa pola-pola kotak-kotak itu disusun oleh pola persegi panjang, kecuali pola yang ia lihat berbeda. Nitha bersyukur sekali ia dianugerahi kemampuan berhitung yang cukup bagus, sehingga menyadari hal tersebut. Ia hanya perlu menekan tombol tersembunyi di balik mimbar, untuk membuat pola itu terangkat. Mengeluarkan sebuah kotak kayu yang tersimpan disana. Sebuah kotak yang ternyata adalah kotak musik.