Hukuman Murid Ke - 38

Athiyah Nazifah
Chapter #24

Dua Puluh Tiga: Förtroende

Suara notifikasi kesekian yang masuk ke dalam ponselnya, mengembalikan kesadaran Aya sepenuhnya. Gadis itu menatap notifikasi di layar, mendapat pemberitahuan keempat mengenai teka-teki yang sudah terjawab. Ia segera bangkit dari posisi tidurnya, rasa pusing di kepala sudah sedikit mereda walau rasa dingin mulai terasa di beberapa bagian tubuh. Hanya butuh beberapa jam hingga ia terkena meriang.

Notifikasi yang masuk tadi, menjadi penanda bahwa hanya tersisa satu teka-teki yang bisa dijawab. Sayup-sayup suara keributan di luar semakin terdengar jelas, notifikasi barusan jelas membuat seluruh murid semakin panik. Andai saja murid di luar sana tau, kalau penilaian yang dilakukan saat ini takkan berpengaruh pada mereka. Sebab tujuan utama dari penilaian tersebut adalah menyingkirkan seorang anak baru bernama Arlina Mika.

Sebagai seorang anak dari pemilik yayasan. Aya memiliki kuasa untuk mengetahui kapan dan apa tujuan sebuah penilaian dilakukan, walau privilege tersebut sesungguhnya diberikan kepada sang peringkat utama. Alias Davin. Entah apa yang dimiliki seorang Mika sehingga pihak sekolah merasa resah akan keberadaannya di Jayatri. Kalau memang dia memiliki sesuatu yang bisa saja membahayakan posisi Jayatri, mengapa gadis itu diterima sejak awal?

Sebuah pesan yang masuk, menghentikan langkah Aya yang hendak memasuki area gedung renang sekolahnya. Ia tersenyum mengejek melihat pesan yang datang. Kakak tirinya baru saja mengirimkan jawaban untuk teka-teki terakhir dan keberadaan salah satu anggota Golden Jayatri. Merasa tak percaya bahwa pemuda yang bahkan tak pernah mempedulikan keberadaannya di rumah, kini bersikap peduli. Entah karena tau bahwa dirinya sedang sakit, atau meremehkan kemampuannya untuk melewati penilaian. Tanpa tau bahwa Aya sudah tau jawaban dari teka-teki terakhir sejak awal.

Ketika Aya memasuki gedung renang, ia dapati seorang perempuan berambut pendek dan berkemeja abu-abu duduk di bagian tengah tribun penonton. Tatapannya tertuju lurus pada tenangnya air, tak mempedulikan sedikitpun seseorang yang memasuki gedung. Seolah suara keras pintu digeser barusan tak mengganggunya.

“Langsung katakan saja jawabanmu.” Sang puan berucap ketika Aya akhirnya mendudukan diri di sampingnya. “Saya sudah menunggu terlalu lama untuk omong kosong ini.”

“Kepercayaan. Jawabannya rasa percaya. Seseorang baru merasa pentingnya sebuah rasa percaya ketika mereka dikhianati. Atau bahkan ketika mereka mengkhianati orang yang paling mempercayai mereka.” Widya mengangguk kecil sebagai tanda bahwa ia menerima jawaban barusan. “Teka-teki ini dibuat oleh Kak Widya sendiri.”

“Berarti sekarang giliranku yang menjawab kan?”

Kedua perempuan itu tersentak, menoleh ke asal suara yang berada tepat di seberang mereka. Di tribun seberang ada Mika yang sudah melambaikan tangan heboh dengan senyum lebar. Mendapatkan atensi sedemikian rupa, sang puan bergegas turun dari area tribun dan berjalan sembari melompat kecil layaknya seorang anak kecil yang antusias akan sesuatu.

“Lo dari tadi di sini?” tanya Aya jelas merasa kebingungan. Ia yakin sekali ketika memasuki area gedung hanya ada Widya seseorang, ketika pembicaraan mereka pun tak ada suara pintu dibuka. Wajar bukan jika ia terkejut. Seolah sang puan baru saja melakukan teleportasi.

Mika tak mengacuhkan pertanyaan barusan, memilih berdiri beberapa baris di bagian bawah sehingga tingginya bisa langsung menyamai dua orang yang duduk tersebut. Widya mengerjap beberapa saat, memperhatikan paras Mika dengan seksama ketika menyadari ada sebuah rasa familiar dirasakannya. Punggungnya lantas menegap, seraya berkata. “Kamu adiknya Juan?”

“Ya, namaku Arlina Mika. Salam kenal Kak Widya.”  Tubuh Mika sedikit menunduk, kebiasaan sopan santunnya yang satu itu jelas masih melekat walau tidak dengan aksen bicaranya. “Kakak masih bersedia menerima jawabanku kan?”

“Tentu. Namun tidak, jika jawabanmu sama dengan dia.” Widya mengalihkan pandang untuk sesaat pada Aya sebelum kembali menatap Mika. “Saya tetap mengakui jawabanmu, namun tidak ada poin yang diberi.”

“Tenang saja, sebab jawabanku berbeda.” Tangan Mika bergerak meraih sesuatu dari dalam saku kemeja batiknya. Menyodorkan sebuah benda kecil mengkilat, yang sukses merubah wajah datar Widya menjadi penuh keterkejutan. “Percaya memanglah jawabannya. Namun teka-teki pertama sebenarnya sebuah teka-teki menebak ‘siapa’ dan bukanlah ‘apa’. Jadi jawabanku adalah Widya Leila Adinata.”

“Kenapa Kak Widya yang menjadi jawaban?” Aya menyahut, jelas tak mengerti jawaban yang Mika lontarkan barusan. Namun, pertanyaannya itu justru dibalas Mika dengan pandangan iba.

Lihat selengkapnya